ETIKA, BUDAYA NUSANTARA DAN REAKTUALISASI PANCASILA


BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Masalah
            Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan cabang dari ilmu kemanusiaan (humaniora). Etika sebagai cabang falsafah membahas sistem dan pemikiran mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika sebagai cabang ilmu membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sosial meliputi cabang etika yang lebih khusus seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik.
            Perkembangan zaman bukanlah suatu alasan sebagai penghancur nilai dan norma yang terdapat dalam pancasila, Namun pancasila berperan sebagai bendungan penahan arus derasnya globalisasi. Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar.
2.    Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Pancasila sebagai sistem etika  di kehidupan sehari-hari?
b.       Bagaimana pengaruh budaya tehadap Pancasila?
c.        Apa yang dimaksud dengan aktualisasi Pancasila?
3.    Tujuan
a.       Mengetahui Pancasila sebagai sistem etika di kehidupan sehari-hari
b.       Mengetahui pengaruh budaya terhadap pancasila
c.        Mengetahui cara mengaktualisasikan Pancasila




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Etika Pancasila
                        Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu ketika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus. [1]
                        Sebagai sebuah sistem nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang di gali dari kebudayaan dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus ditempatkan sebagai cita-cita etis dan hukum juga sebagai etika berpolitik warga bangsa.  Sebagai etika politik sehari-hari, sila-sila Pancasila yang saling terkait harus menjadi orientasi praktik politik sehari-hari. Misalnya, Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mengandung prinsip spiritualitas harus bersinergi dengan prinsip sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dimana cara-cara meraih kekuasaan politik dilakukan sebagai media untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di dunia sebagai pesan universal semua agama.
                        Menjadikan Pancasila sebagai etika politik dalam tata kelola negara, menurut budayawan Abdul Hadi W.M. adalah dengan menjadikan kekuasaan negara dijalankan sesuai dengan;  pertama, asas legalitas atu legitimasi hukum yang berlaku di NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kedua, disahkan dan dijalankan secara demokratis. Ketiga, dilaksanakan berdasar kan prinsip-prinsip moral, sebagaimana dinyatakan oleh Mohammad Hatta bahwa negara harus berdasarkan moral ketuhanan dan kemanusiaan agar tidak terjerumus menjadi “negara kekuasaan” (machtsstaat). Pernyataan pendiri bangsa ini sangat kental dengan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan yang tertuang dalam sila-sila pada Pancasila.[2]

B.      Pancasila Sebagai Penangkal Pengaruh Budaya Asing


a.    Pengaruh Budaya Luar terhadap Budaya Indonesia
                 Kebudayaan Indonesia walau beranekaragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan Kebudayaan Arab. Kebudayaan India masuk dari penyebaran agama Hindu dan Budha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Dari waktu ke waktu budaya barat semakin marak dan diserap dengan mudah oleh masyarakat kita. Tidak peduli budaya itu merusak ataukah tidak, namun nampaknya masyarakat kita lebih suka menghadapi budaya-budaya luar itu daripada melestarikan budaya tanah airnya sendiri. Hal ini harus bisa disikapi dengan seksama karena bila kebiasaan ini terus berlangsung tanpa proses penyaringan dan pengontrolan, maka dapat dipastikan bahwa budaya Indonesia akan hilang lenyap tinggal nama. Permasalahan ini timbul bukan karena faktor luar, namun timbul dari diri pribadi masing-masing warga masyarakat yang seakan malu dan menganggap kuno budayanya sendiri.
                 Beberapa contoh budaya asing yang sangat negatif namun telah marak di Indonesia yaitu freesex, pengkonsomsian narkoba, dan abortus. Freesex ini bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, namun dari golongan remajalah yang sekarang ini marak diberikan misalnya saja kasus Itenas. Pengkonsomsian narkoba dilakukan orang barat untuk merilekskan pikiran mereka dari berbagai macam kerumitan hidup, untuk menambah stamina, semangat, dan kreatifitas saat bekerja itupun dengan dosis aman bagi mereka. Namun di Indonesia mengkonsumsi narkoba adalah ajang coba-coba dan cara menghilangkan stres tanpa mengetahui kandungan zat berbahaya yang ada di dalamnya. Sehingga tidak jarang kasus kematian, tindak kriminal dan 8 kenakalan remaja yang disebabkan benda haram tersebut. Kasus abortus ini sebenarnya tidak terlalu jauh hubungannya dengan kasus freesex inilah banyak kaum wanita yang hamil di luar nikah dan karena rasa malu kebanyakan para wanita itu melakukan aborsi. Selain dibenci oleh Tuhan, kegiatan ini dapat mencelakai pihak wanita itu sendiri. Namun, selain mempunyai sisi negatif budaya barat juga mempunyai pengaruh positif pada budaya Indonesia, misalnya dalam bidang IPTEK, pembangunan, dsb, yang tentunya kesemuanya itu tidak terlepas dari pengawasan Pancasila sebagai paradigma kehidupan di Indonesia.
                 Keberhasilan kebudayaan Barat adalah keberhasilan pembuatan suatu sistem nilai yang dijalankan dengan baik sehingga mampu meningkatkan produktifitas masyarakatnya selama berabab-abad. Oleh karena nilai-nilai yang dianggap berhasil terus dikembangkan untuk ditularkan seluas-luasnya secara global untuk memudahkan dominasi atau lebih produktif dalam hal menguntungkan kepentingan Barat. Ini yang dinamakan suatu penjajahan sistem atau penjajahan sistemik. Sebaliknya kemunduran masyarakat di negara berkembang karena terlalu banyak benturan nilai-nilai yang menyebabkan masyarakatnya tidak produktif. Disatu sisi ingin mempertahankan suatu nilai-nilai lokal dilain pihak ada suatu usaha penjajahan sistemik yang ingin merangkul masuk menjadi suatu sistem global yang bisa diatur untuk kepentingan negara-negara yang dominan.
                 Begitu luasnya cakupan kebudayaan tetapi dalam pengamalan Pancasila kebudayaan bangsa Indonesia adalah budaya ketimuran, yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, ramah tamah, kesusilaan dan lain-lain. Budaya Indonesia memang mengalami perkembangan misalnya dalam hal Iptek dan pola hidup, perubahan dan perkembangan ini didapat dari kebudayaan asing yang berhasil masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Semua kebudayaan asing yang diterima adalah kebudayaan yang masih sejalan dengan Pancasila. Walaupun begitu tidak jarang kebudayaan yang jelas-jelas bertentangan dengan budaya Indonesia dapat berkembang di Indonesia.[3]
b.    Pancasila Sebagai Penangkal Pengaruh Budaya Asing
                 Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi. Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo (1992: 11-12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain.
                 Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan. Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja. Mengingkari dan tidak mau tahu tawaran´ atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
                 Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya.
                 Ideologi Pancasila tidak prioritas menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam pengembangan dirinya. Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia. Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional.[4]

C.     Aktualisasi Pancasila
                 Aktualisasi berasal dari kata aktual yang berarti betul-betul ada, terjadi dan sesungguhnya, hakikatnya. Dimana Pancasila memang sudah jelas berdiri dalam bangsa Indonesia sebagai dasar negaranya.
Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari aparatur Negara sampai kepada rakyat biasa.[5]
                             Aktualisasi atau penyegaran kembali nilai-nilai pancasila adalah keharusan dan tuntutan sejarah, jika menghendaki dasar negara indonesia itu tidak ditinggalkan oleh dinamika perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu upaya mengaktualkan Pancasila adalah melalui upaya menghangatkan kembali makna pancasila sebagai haluan bersama bangsa indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan merealisasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tatanan pemerintahan, aktualisasi pancasila dapat dilakukan melalui pembuatan perundang-undangan atau kebijakan negara yang harus senapas dengan nilai Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana akademik.[6]
                 Merealisasikan Panasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara sesungguhnya dapat dilakukan melalui cara-cara berikut:
a.         Aktualisasi Pancasila secara objektif, yaitu melaksanakan Pancasila dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara meliputu eksekutif, legislative, dan yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang – bidang aktualisasi lainnya seperti politik, ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran ke dalam undang – undang, GBHN, pertahanan keamanan, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya.
b.         Aktualisasi Pancasila secara subjektif, yaitu pelaksanaan Pancasila dalam setiap pribadi, perseorangan, warga negara, dan penduduk. Pelaksanaan Pancasila secara subjektif sangat ditentukan oleh kesadara, ketaatan, serta kesiapan individu untuk mengamalkan Pancasila. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini justru lebih penting dari aktualisasi yang objektif, karena aktualisasi subjektif ini merupakan persyaratan keberhasilan aktualisasi yang objektif. Pelaksanaan Pancasila yang subjektif akan terselenggara dengan baik apabila suatu keseimbangan kerohanian yang mewujudkan suatu bentuk kehidupan dimana kesadaran wajib hukum telah terpadu menjadi kesadaran wajib moral, sehingga dengan demikian suatu perbuatan yang tidak memenuhi wajib untuk melaksanakan Pancasila bukan hanya akan menimbulkan akibat moral, dan ini lebih ditekankan pada sikap dan tingkah – laku seseorang. Sehingga Aktualisasi Pancasila yang subjektif berkaitan dengan norma – norma moral.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu ketika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
·         Pengaruh Budaya Luar terhadap Budaya Indonesia: Tidak peduli budaya itu merusak ataukah tidak, namun nampaknya masyarakat kita lebih suka menghadapi budaya-budaya luar itu daripada melestarikan budaya tanah airnya sendiri. Hal ini harus bisa disikapi dengan seksama karena bila kebiasaan ini terus berlangsung tanpa proses penyaringan dan pengontrolan, maka dapat dipastikan bahwa budaya Indonesia akan hilang lenyap tinggal nama. Permasalahan ini timbul bukan karena faktor luar, namun timbul dari diri pribadi masing-masing warga masyarakat yang seakan malu dan menganggap kuno budayanya sendiri.
·         Pancasila Sebagai Penangkal Pengaruh Budaya Asing : Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
·         Aktualisasi berasal dari kata aktual yang berarti betul-betul ada, terjadi dan sesungguhnya, hakikatnya. Dimana Pancasila memang sudah jelas berdiri dalam bangsa Indonesia sebagai dasar negaranya. Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari aparatur Negara sampai kepada rakyat biasa.



Saran
            Dari pembahasan penulisan makalah ini penulis mengharapkan agar kita semua sebagai warga negara Indonesia dapat mengaktualisasikan nilai-niali luhur dari pancasila karena dalam era globalisasi dapat mempengaruhi individu, lalu masyarakat, dan akan mempengaruhi ke skala nasional. Dalam era globalisaisi ini timbul suatu “penyakit” yaitu sikap materialistis (sikap berlebihan terhadap pengeluaran materi/konsumsi) dan sekularisme (suatu paham yang membedakan antara agama dengan dunia) merupakan 2 hal yang harus dijauhi karna sangat tidak sesuai dengan nilai dari Pancasila dan juga akan mematahkan nilai-nilai dari pancasila itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA
KAELAN.2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta, Paradigma
A. UBAEDILLAH & ABDUL ROZAK. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan Civic  Education Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. , Jakarta. ICCE UIN Syarif Hidayatullah



[1] KAELAN, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010, hlm.86
[2] A. UBAEDILLAH & ABDUL ROZAK, Pendidikan Kewarganegaraan Civic  Education Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, hlm.32-33
[3] http://chumyelith.blogspot.co.id/2010/01/aktualisasi-pancasila-di-era.html

[5]  yuliana wati,“Makalah Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila di Lingkungan Kampus” http://anailuyyuliana.blogspot.co.id/2012/11/makalah-aktualisasi-nilai-nilai.html, pada tanggal 29  sep 2016 pukul 14:30

[6]A. UBAEDILLAH & ABDUL ROZAK, Pendidikan Kewarganegaraan Civic  Education Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003,. hlm.46

[7] Anastasia irene puspita, “Aktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Era Globalisasi”, https://anastasiairenepuspita.wordpress.com/2015/04/20/aktualisasi-pancasila-dalam-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara-di-era-globalisasi/, pada tanggal 29 Sep. 16 pukul 06.30


Komentar

Postingan Populer