Ayat dan Hadist Zakat, Infaq, Sedekah, Wasiat dan Pembagian Harta Waris
MAKALAH
AYAT DAN
HADIST TENTANG ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, WASIAT DAN PEMBAGIAN HARTA WARIS
Diajukan
untuk memenuhi tugas kelompok Hadist Ekonomi 2
Dosen
pengampu: Khoirur Rojiin, Lc, M.Pd.I

Disusun
oleh:
Kelompok
5
1. Lina Dorabella 1602040110
2. M.Khairul Al-Azhar 1602040220
3.
Muhammad Bayu W. 1602040119
4. Susi Wariyanti 1602040158
Kelas: ESy D
JURUSAN
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
METRO
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji
dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan salam semoga
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya yang setia.
Alhamdulillah
wa syukrulillah bahwa berkat rahmat dan anugrah-Nya makalah ini dapat kami
selesaikan.
Makalah
ini kami kami susun dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat
Ekonomi dengan materi Ayat dan Hadist tentang Zakat, Infaq, Sedekah,
Waiat dan Pembagian Harta Waris dari
dosen pengampu Khoirur Rojiin, Lc,M.Pd.I. Dengan isi yang telah
kami kembangkan dari berbagai sumber yang ada.
Kami
sadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dari segi
isinya, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu saran, kritik, dan perbaikan dari
pembaca dengan senang hati akan kami nantikan.Semoga apa yang telah
kami upayakan bisa memberi manfaat yang maksimal dan mendapatkan ridho-Nya.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Metro, 27 Februari 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang..................................................................................................... 1
B.
RumusanMasalah................................................................................................ 1
C.
Tujuan................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Zakat
.................................................................................................................. 2
B.
Infaq
................................................................................................................... 5
C.
Sedekah
......................................................................................................... .... 9
D.
Wasiat
................................................................................................................ 12
E.
Waris
.................................................................................................................. 15
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan......................................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Harta merupakan titipan Allah SWT yang pada
hakekatnya hanya dititipkan kepada kita sebagai manusia ciptaan-Nya.
Konsekuensi manusia terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan kepadanya
mempunyai aturan-aturan Tuhan, baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaan.
Terdapat kewajiban yang dibebankan pada
pemiliknya untuk mengeluarkan zakat untuk kesejahteraan masyarakat, dan ada
ibadah amaliyah sunnah yakni sedekah dan
infaq. Karena pada hakekatnya segala harta yang dimiliki manusia adalah titipan
Allah SWT, maka setiap kita manusia wajib melaksanakan segala perintah Allah
mengenai hartanya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara
rinci apa yang menjadi pengertian zakat, infaq dan shadaqah, dasar hukum dan
segala hal yang berkaitan dengan masalah zakat,
serta akan menjelaskan mengenai masalah sosial lain seperti waris dan
wasiat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian zakat, infaq, sedekah, wasiat dan waris?
2.
Apa
dalil dari zakat, infaq, sedekah, wasiat dan waris?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian zakat, infaq, sedekah, wasiat dan waris?
2.
Untuk
mengetahui dalil dari zakat, infaq, sedekah, wasiat dan waris?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zakat
1.
Pengertian
Bedasarkan etimologinya zakat berasal dari
kata bahasa arab : zakkan-yuzakki-tazakiyatan-zakaatan. Yang memiliki
arti bermacam-macam yakni thaharah, namaa, barakah atau amal soleh.
a)
Thaharah
artinya bersih-membersihkan atau mensucikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman
(Qs. At-taubah:130).
b)
Namaa
artinya tumbuh atau berkembang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat (Qs.
Al-baqarah:276). Yang artinya Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Hal ini sesuai dengan jaminan sabda Nabi SAW bahwa tidak akan pernah berkurang
harta seseorang jika disedekahkan. Rasulullah SAW bersabda: dari Abu Rabsyah
Al-An Maary berkata harta seseorang tidak akan berkurang jika disedekahkan (
Hr-Tarmidzi)
c)
Al-barakah
artinya balasan atau karunia Allah yang diberikan kepada hambanya tiada tara
bandinganya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam (Qs. Saba:39) yang
artinya “dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.
Itulah sebaik-baik rezeki”
Selain definisi
diatas berberapa ulama memberikan definisi sebagai berikut:
a.
Mazhab
Maliki mendefinisikannya dengan, “ Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta
yang khusus pula yang telah mencapai nishab ( batas kuantitas yang mewajibkan
zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)-nya. Dengan
catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai haul (setahun), bukan barang
tambang dan bukan pertanian”.
b.
Menurut
mazhab Imam Syafi'i zakat adalah sebuah ungkapan keluarnya harta atau tubuh sesuai
dengan secara khusus. Sedangkan menurut mazhab Imam Hambali, zakat ialah
hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang
khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok delapan yang disyaratkan
dalam Al-Qur'an.
c.
Al-Hafidz
ibnu hajar berpendapat,” memberikan sebagian dari harta yang sejenis yang sudah
sampai nashabnya selama setahun dan diberikan kepada orang fakir dan semisalnya
yang bukan dari Bani Hasyim dan Bani Mutholib”
d.
Ibnu
Tamiyah memberikan bagian tertentu dari harta yang berkembang jika sudah sampai
nishab untuk keperluan tertentu.[1]
2.
Hukum
menunaikan zakat
Zakat merupakan kewajiban untuk
mengeluarkan sebagian harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban
tersebut berlaku untuk seluruh umat muslim yang sudah baliqh, berakal. Sebagai
salah satu rukun islam yang ke-5, zakat adalah pondasi islam yang agung.
Kewajibanya pun langsung disampaikan melalui Al-Quran, As-Sunnah dengan
dilengkapi keteranganya bedasarkan ijma’ ulama. Yang dijelaskan dalam (Qs
Al-bayyinah:5)

Artinya: “ padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepadanya dengan menjalankan agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat yang demikian itulah agama yang lurus”.
3.
Dalil
Pensyariatan Zakat[2]
· Dalil yang berasal dari Al Qur’an
QS At-Taubah : 103

Artinya: “ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagiMaha Mengetahui.”
QS Al-Baqarah :
43

Artinya
: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orangorang
yang
ruku”. (QS. Al Baqarah:43)
· Dalil dari As Sunah

Dari Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa salam mengutus Mu’adz ke negeri Yaman, ia meneruskan hadist itu dan
di dalamnya (beliau bersabda): “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka
zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara merekadan
dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” Muttafaq Alaih dan
lafadznya menurut Bukhari.
Didalam hadis Rasulullah SAW (sunnah) antara lain:
Dari Abdullah bin umar ia berkata; islam dibangun atas 5 rukun:
syahadat , Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW utusan Allah menegakan
shalat, membayar zakat menunaikan haji dan puasa ramadhan”.(HR.Bukhari dan Muslim)[3]
4.
Macam-
macam zakat
Pada dasarnya zakat dibagi kedalam 2 jenis
yakni zakat nafs(jiwa) atau yang disebut dengan zakat fitri dan zakat mal
(harta).
· Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan setiap muslim
sebelum memasuki hari raya idul fitri atau sebelum dilaksanakanya shalat idul
fitri. Yang dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 kilogram atau 3,5 liter makanan
pokok.
· Zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan untuk hasil-hasil
perniagaan , pertanian,pertambangan,emas, perak serta hasil kerja
(profesi)-nya. Dan masing-masing memiliki perhitunganya sediri- sendiri.[4]
5.
Orang
yang berhak menerima zakat
Ada 8 kelompok yang berhak menerima zakat yaitu
a.
Fakir
adalah orang yang sama sekali tidak memiliki harta kecuali baju yang melekat
ditubuhnya atau sekedar barang-barang yang dipakai untuk makan dan minum.
Mereka pun tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
b.
Miskin
adalah orang yang memiliki harta namun sama sekali tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
c.
Amil
adalah orang yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat
d.
Muallaf
adalah orang yang baru memeluk agama islam dan membutuhkan bantuan sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan keadaanya yang baru.
e.
Hamba
sahaya adalah orang yang setatusnya sebagai budak belian dan ingin memerdekakan
dirinya.
f.
Gharimin
adalah orang yang memiliki banyak hutang karena terdesak oleh kebutuhan yang halal dan tidak sanggup lagi
membayarnya.
g.
Fisabilillah
adalah orang-orang yang berjuang dijalan Allah seperti orang yang berjihad dan
berdakwah.
h.
Ibnu
sabil adalah orang yang berpergian jauh untuk kepentingan ibadah.[5]
6.
Syarat
zakat
a)
Sudah
menjadi milik sepenuhnya maksudnya harta tersebut benar-benar milik peibadi.
b)
Berkembang
Maksudnya harta tersebut dapat berkembang dan bertambah bila dibisniskan.
c)
Cukup
nishab yaitu harta yang dimilikinya mencapai jumlah tertentu sesuai ketetapan
syara.
d)
Lebih
dari kebutuhan pokok
e)
Bebas
hutang orang yang tidak mempunyai hutang atau terbebani oleh hutang.[6]
B.
Infaq
1.
Pengertian
Infaq berasal dari kata anfaqa-yunfiqu yang berarti mengeluarkan
sesuatu untuk kepentingan sesuatu, arti infaq menjadi khusus ketika dikaitkan
dengan upaya realisasi perintah-perintah Allah. Dengan demikian infaq hanya berkaitan
dengan atau hanya dalam untuk materi saja. Sedangkan menurut terminologi
syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk suatu
kepentingan yang diperintahkan oleh ajaran islam.
Infaq berbeda dengan zakat,infaq tidak
mengenal nisab atau jumlah harta yang ditentukan secara hukum. Infaq tidak
harus di berikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya
orang tua ,kerabat, anak yatim, orang miskin atau orang-orang yang sedang dalam
perjalanan. Dengan demikian pengertian infaq adalah pengeluaran sukarela yang
dilakukan seseorang. Allah memberikan kebebasan kepada pemiliknya untuk
menentukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya diserahkan.
Dari definisi atas dapat disimpulkan bahwa
infaq bisa diberikan kepada siapa saja arinya mengeluarkan harta untuk
kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah syariat infaq adalah
mengeluarkan sebagian harta yang diperintahkan dalam islam untuk kepentingan
umum dan juga bisa diberikan kepada sahabat terdekat, kedua orang tua, dan
kerabat terdekat lainya.
2. Dasar hukum
a)
Dalil
Al Qur’an
QS Ali-Imron : 134

Artinya: “orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang orang yang
berbuat kebajikan.”
Ali-Imron:134,
menjelaskan bahwasanya hukum infak adalah sunah karena infak tidak mengenal
nisab dan infak dikeluarkan setiap orang yang beriman baik yang berpenghasilan
tinggi maupun rendah, apakah dia sedang lapang atau sempit dan infak tidak
mengenal batas waktu kapanpun dalam mengeluarkan hartanya.
Syariat telah memberikan panduan kepada
kita dalam berinfaq atau membelanjakan harta. Allah dalam banyak ayat dan Rasul
SAW dalam banyak hadist telah memerintahkan kita agar menginfakan
(membelanjakan) harta yang dimiliki. Allah juga memerintahkan agar seseorang
membelanjakan hartanya untuk dirinya sendiri dalam (Qs At-taghabun;16) serta untuk menafkahi intri dan keluarga menurut kemampuanya (Qs
at-talaq;7). Dalam membelanjakan harta itu hendaklah yang dibelanjakan adalah
harta yang baik, bukan yang buruk khususnya dala menunaikan infaq (Qs.
Al-baqarah;267).
b)
As
Sunnah (Hadist)
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu, Nabi SAW memberitahukan kepadanya.

“ Allah Yang
Mahasuci lagi Maha tinggi berfirman, ‘Wahai anak Adam! Berinfaklan, niscaya Aku
berinfak (memberi rizki) kepadamu” HR.
Muslim
Hadist lain
adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi: Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ’anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“
Berinfaklah wahai Bilal! Jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat yang
memiliki Arsy.”
3. Rukun dan syarat infaq
a)
Penginfaq
maksudnya yaitu orang yang berinfaq, penginfaq tersebut harusmemenuhi syarat
sebagai berikut:
1)
Penginfaq
memiliki apa yang diinfaqkan.
2)
Penginfaq
bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3)
Penginfaq
itu oarang dewasa, bukan anak yang kurang kemampuannya.
4)
Penginfaq
itu tidak dipaksa, sebab infaq itu akad yang mensyaratkankeridhaan dalam
keabsahannya.
b)
Orang
yang diberi infaq maksudnya oarang yang diberi infaq oleh penginfaq, harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
1)
Benar-benar
ada waktu diberi infaq. Bila benar-benar tidak ada, ataudiperkirakan adanya,
misalnya dalam bentuk janin maka infaq tidakada.
2)
Dewasa
atau baligh maksudnya apabila orang yang diberi infaq itu adadi waktu pemberian
infaq, akan tetapi ia masih kecil atau gila, makainfaq itu diambil oleh
walinya, pemeliharaannya, atau orang yangmendidiknya, sekalipun dia orang
asing.
c)
Sesuatu yang diinfaqkan maksudnya orang yang
diberi infaq oleh penginfaq, harus memenuhisyarat sebagai berikut:
1)
Benar-benar
ada.
2)
Harta
yang bernilai.
3)
Dapat
dimiliki zatnya, yakni bahwa yang diinfaqkan adalah apa yangbiasanya dimiliki,
diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menginfaqkan
air di sungai, ikan dilaut, burung di udara.
4)
Tidak
berhubungan dengan tempat milik penginfaq, seperti menginfaqkan tanaman, pohon
atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi yang diinfaqkan itu wajib dipisahkan
dan diserahkan kepadayang diberi infaq sehingga menjadi milik baginya.
d)
Ijab
dan Qabul Infaq itu sah melalui ijab dan qabul, bagaimana pun bentuk ijab qabul
yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Misalnya penginfaq berkata:
Aku infaqkan kepadamu; aku berikan kepadamu; atau yang serupaitu; sedang yang
lain berkata: Ya aku terima. Imam Malik dan Asy-Syafi’I berpendapat dipegangnya
qabul di dalam infaq. Orang-orang Hanafiberpendapat bahwa ijab saja sudah
cukup, dan itulah yang paling shahih. Sedangkan orang-orang Hambali
berpendapat: Infaq itu sah denganpemberian yang menunjukkan kepadanya; karena
Nabi SAW. Diberi danmemberikan hadiah. Begitu pula dilakukan para sahabat.
Serta tidak dinukildari mereka bahwa mereka mensyaratkan ijab qabul, dan yang
serupa itu.[7]
4.
Manfaat
Infaq
a)
Sarana
Pembersih Jiwa
Sebagaimana
arti bahasa dari zakat adalah suci, maka seseorang yangberzakat, pada
hakekatnya meupakan bukti terhadap dunianya dariupayanya untuk mensucikan
diri;mensucikan diri dari sifat kikir, tamak dandari kecintaan yang sangat
terhadap dunianya , juga mensucikan hartanya dari hak-hak orang lain.
b)
Realisasi
Kepedulian Sosial
b)Salah satu esensial dalam Islam yang ditekankan untuk
ditegakkanadalah hidupnya suasana takaful dan tadhomun (rasa sepenanggungan)
danhal tersebut akan bisa direalisasian dengan infaq. Jika shalat
berfungsiPembina ke khusu'an terhadap Allah, maka infaq berfungsi sebagai
Pembinakelembutan hati seseorang terhadap sesama.
c)
Sarana
Untuk Meraih Pertolongan Sosial
c)Allah SWT hanya akan memberikan pertolongan kepada
hambaNya,manakala hambanya-Nya mematuhi ajarannya dan diantara ajaran Allahyang
harus ditaati adalah menunaikan infaq.
d)
Ungkapan
Rasa Syukur Kepada Allah
d)Menunaikan infaq merupakan ungkapan syukur atas nikmat
yangdiberikan Allah kepada kita.
C.
Sedekah
1.
Definisi Sedekah
Sedekah berasal dari kata bahasa Arab yaitu
صدقة
yang berarti suatu pemberian yang
diberikan oleh seorang kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti
suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap
ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf ق ,د ,ص serta
dari unsur al-Sidq yang berarti benar atau jujur, artinya sedekah adalah
membenarkan sesuatu. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada
Allah SWT.
Sedekah tidak terbatas pada hal bersifat
materi saja akan tetapi juga pada hal yang bersifat non materi seperti yang
dijelaskan pada sabda Nabi SAW “setiap ruas yang aktif dari kamu itu harus
disedekahi. Maka setiap tasbih itu nilainya sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap
tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah dan amar makruf nahi munkar itu
juga sedekah.”
Dari pengertian diatas, dapat diartikan
bahwa sedekah merupakan ibadah yang sifatnya lentur, artinya tidak dibatasi
oleh waktu ataupun batasan tertentu dan tidak terbatas baik berupa materi
ataupun non materi. Artinya segala bentuk perbuatan baik itu adalah sedekah.
Adapun istilah sedekah memiliki beberapa pengertian diantaranya sebagai
berikut:
a)
Sedekah
adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan,
ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima sedekah tanpa disertai imbalan.
Sedekah ini adalah bersifat sunnah bukan wajib. karena itu untuk membedakannya
dengan zakat yang hukumnya wajib para fuqaha‟ menggunakan istilah sodaqah tatawwu’
atau al-Sadaqah al-Nafilah sedangkan untuk zakat dipakai istilah al-Sadaqah
al-Mafrudhah.
b)
Sedekah
adalah mengeluarkan harta yang bersifat wajib. Disini sedekah identik dengan zakat. Ini merupakan
makna kedua dari sedekah, sebab dalam ayat-ayat alquran terdapat lafad sedekah
yang berarti zakat. Seperti firman Allah QS At Taubah 103

Artinya: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. “
Kata sadaqah dalam ayat ini yaitu
bermakna zakat, artinya ambillah atas nama Allah sedekah yakni harta berupa
zakat dari sebaian harta mereka, bukan seluruhnya bukan pula sebagian besar dan
tidak juga yang terbaik. Dengan harta yang diambil tersebut maka telah
dibersihkan dan disucikan harta dan jiwa mereka lagi mengembangkan harta mereka.

Artinya : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS
At Taubah :60
Berdasarkan ayat diatas sedekah merupakan
kata lain dari zakat, namun demikian penggunaan kada sadaqah dalam arti zakat
ini tidaklah bersifat muthlaq artinya dibutuhkan indikasi yang menunjukkan
bahwa kata sadaqah dalam konteks ayat tersebut artinya adalah zakat yang
berhukum wajib bukan sedekah tathawwu‟. Dalam ayat tersebut terdapat ungkapan
faridatan minallah (sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan). Ungkapan ini
merupakan indikasih bahwa yang dimaksut dengan lafad al-Sadaqat dalam ayat diatas adalah zakat yang wajib bukan sedekah yang
lain. Selain zakat sadaqah juga bermakna mahar. Seperti dalam Firman Allah QS An-Nisa ayat 4:

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Menurut
Thahir Ibn „Ashur dalam ayat ini maskawin/mahar dinamai dengan saduqat bentuk
jamak dari saduqah yang terambil dari akar yang berarti “kebenaran” ini karena
maskawin itu didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti kebenaran
janji. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan
kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup
istrinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah lambang dari janji untuk tidak
membuka rahasia kehidupan rumah tangga khususnya rahasian terdalam yang tidak
dibuka oleh wanita kecuali pada suaminya.
c)
Sedekah adalah sesuatu yang ma‟ruf. Pengertian ini didasarkan pada hadis riwayat imam Muslim bahwa
Nabi SAW bersabda: “setiap kebajikan adalah sadaqah.” Berdasarkan hal ini maka
mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah sedekah, beramar ma‟ruf nahi
mungkar adalah sedekah dan tersenyum kepada sesama muslim adalah juga merupakan
sedekah. Sedekah adalah sesuatu yang
diberikan dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT. Menurut Syara', sedekah
adalah memberi kepemilikan pada seseorang pada waktu hidup dengan tanpa
imbalan sesuatu dari yang diberi serta ada tujuan taqorrub pada Allah SWT. Sedekah
juga diartikan memberikan sesuatu yang berguna bagi orang lain yang memerlukan bantuan (fakir-miskin) dengan tujuan untuk mendapat
pahala.
2.
Hukum
Sedekah
Sedekah hukumnya sunnah mu’akkad, namun ia
juga bisa menjadi haram jika pemberi sedekah mengetahui atau menduga kuat bahwa
penerimanya akan membelanjakan uang hasil sedekah tersebut untuk hal-hal yang
jahat dan maksiat kepada Allah. Diwaktu lain sedekah bisa menjadi wajib jika
pemberi sedekah mendapati seseorang yang benar-benar dalam kondisi kritis dan
membutuhkan sedekahnya, dan si pemberi sedekah memiliki persediaan yang
melebihi kebutuhan pokok. Dalam kondisi darurat ini, ia wajib bersedekah demi mempertahankan nyawa orang yang ditemuinya dan demi menjaga keselamatannya dari kematian. Jika nafsu dirinya tidak mengizinkannya untuk memberikan
sedekah tersebut demi mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhoannya
maka hendaklah ia memberi dengan kompensasi imbalan tertentu. Bahkan dalam
kondisi nyaris mati, orang yang terdesak kebutuhan ini boleh memerangi orang
yang membawa bekal jika memang ia menolak memberinya sedikit saja bekal yang ia
bawa dan ia tidak berdoasa dengan tindakan tersebut. Jika
ia membunuh karena terdesak kelaparan, maka dosanya dibenbankan kepada penduduk kawasan tempat kejadian perkara.[8]
3.
Hadist
tentang sedekah

Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari
di mana matahari terbit di dalamnya: engkau berlaku adil kepada dua orang (yang
bertikai/berselisih) adalah sedekah, engkau membantu seseorang menaikannya ke
atasnya hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas
hewan tunggangannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap
langkah yang engkau jalankan menuju (ke masjid) untuk shalat adalah sedekah,
dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.’” [HR. al-Bukhari dan Muslim][9]
D.
Wasiat
1.
Pengertian
Kata wasiat berasal dari washaya
yang artinya orang yang berwasiat menghubungkan harta bendanya waktu hidup
dengan sesudah mati. Menurut Taqiyuddin artinya pembelanjaan harta dengan
khusus sesudah mati. Menurut Zainuddin Ali, wasiat ialah penyerahan hak atas
harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara sukarela yang
pelaksanaanya ditangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia.[10]
Istilah “wasiat” diambil
dari wadhaitu-ushi asy-sya’i (aku menyambung sesuatu). Orang yang berwasiat
menyambung apa yang ada di dalam hidupnya setelah kematiannya.
Dalam
syariat, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang
kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki
hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat. Sebagian ulama
mendefinisikan wasiat sebagai pemberian kepemilikan yang disandarkan kepada
masa setelah kematian melalui derma.
2.
Hukum
Wasiat
Hukum wasiat adalah
sunat. Akan tetapi, ada pula para ulama yang berbeda pendapat tentang hukum
wasiat tersebut. Ibnu Hazm al-Andalusia berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi
setiap yang akan meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan, baik
sedikit atau banyak. Menurut Sayyid Sabiq hukum wasiat ada beberapa macam,
yaitu :
a.
Wajib
Wasiat itu
wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan
akan disia-siakan bila ia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang
kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat
yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang
harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahuai selain
dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b.
Sunnah
Wasiat itu
disunnahkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir
dan orang-orang shaleh.
c.
Haram
Wasiat itu
diharamkan jika ia merugikan ahli warits. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli
warits seperti ini adalah batil sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta.
Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.
d.
Makruh
Wasiat itu
makruh jika orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan
menggunakan harta itu didalam kefasikan dan kerusakan.
e.
Jaiz
Wasiat
diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang kaya, baik orang yang diwasiati
itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).
3.
Dasar
Hukum Wasiat
a.
Al-Qur’an
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ ألْمَوْتَ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا ألْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِوَالاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ [
البقرة : ١٨٠ ]
Artinya : “Diwajibkan
pada kalian semua, apabila kematian telah tiba, (dan meninggalkan harta yang
cukup), untuk menyampaikan pesan wasiat kepada kedua orang tua, dan kerabat
dekat dengan baik dan bijaksana. Semua itu merupakan hak bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)
b.
Hadits
Adapun hadits
tentang wasiat ini, dalam kitab Bulughul Maram dijelaskan bahwasanya :
َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى
كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ ,
وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ ,
وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Artinya : Abu
Umamah Al-Bahily ra. Berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda: “sesungguhnya
allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk
ahli waris.” (HR. Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits hasan menurut
Ahmad dan Tirmidzi, dandikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud).
·
Ketentuan Ukuran Harta Wasiat Yang Disunnahkan
Dari Sa‟d bin Abi Waqqash Radhiyallahu
'anhu, ia berkata, “Ketika di Makkah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang
menjenggukku sementara beliau enggan wafat di tanah yang beliau hijrah darinya,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah merahmati Ibnu “Afra (Sa’d).‟ Aku
katakan, “Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua hartaku?‟ Beliau
bersabda, “Tidak boleh.‟ Aku katakan, “Separuhnya?‟ Beliau bersabda, “Tidak
boleh.‟ Aku katakan, “Sepertiganya?‟ Beliau bersabda, “Ya, sepertiga, dan
sepertiga itu banyak, sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka
meminta-minta pada orang lain. (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau
memberikan hartamu pada keluargamu, akan tetap dihitung sebagai sedekah, sampai
makanan yang engkau suapkan pada mulut isterimu. Semoga Allah mengangkat
derajatmu, memberikan manfaat kepada sebagian manusia, dan membahayakan
sebagian yang lain.‟ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris kecuali seorang
anak perempuan.” Hadist Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari
(V/363, no. 2742), dan ini lafazhnya, Shahiih Muslim (III/250, no. 1628), Sunan
Abi Dawud (VIII/64, no. 2847), Sunan an-Nasa-i (VI/242).
· Tidak Boleh Berwasiat Untuk Ahli Waris
Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu
'anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda

“Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan hartanya.
Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (Hadist Shahih: [Shahiih Sunan
Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no. 2713), Sunan Abi Dawud
(VIII/72, no. 2853), Sunan at-Tirmidzi (III/293, no. 2203).
E. Waris
1.
Pengertian
Waris
menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain.
Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.[11]
Waris lebih sering disebut dalam bahasa Arab dengan istilah Al-Miiraats ( الميرات). Al Miiraats berasal dari kata Waritsa (ورت) yang artinya
adalah
البقاء atau keabadian, keberadaan yang terus menerus. Al-Miiraats
(الميرات)
dalam penggunaan lain, dipakai dengan makna atau perpindahan sesuatu dari satu
tempat ke tempat lain. Sedangkan menurut istilah, waris adalah harta
peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris ialah orang
yang berhak menerima harta peninggalan orang yang meniggal. Kata waris terdapat
dalam berbagai bentuk, makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang
antara lain:[12]
a.
Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. al-Naml, 27:16)
b.
Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. al-Zumar, 39:74)
c.
Mengandung makna “mewarisi atau meminta warisan” (QS. al-Maryam, 19:6)
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan
hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih
hidup. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Wiryono
Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.[13]
2.
Hak-Hak
Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan
Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah
(warisan) ada empat. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut
sebagai berikut:[14]
a)
Biaya
mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diaturdalam masalah
jenazah.
b)
Melunasi
hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang kepada Allah seperti
zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia. Orang-orang Hanafi menggugurkan
hutang kepada Allah dengan adanya kematian. Dengan demikian maka hutang kepada
Allah itu tidak wajib dibayar oleh ahli waris kecuali apabila mereka secara
sukarela membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan
diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain
yang dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa
setelah perawatan mayat dan hutang kepada manusia. Ini bila dia mempunyai ahli
waris. Apabila dia tidak mempunyai ahli waris, maka wasiat hutang itu
dikeluarkan dari seluruh harta. Orang-orang Hambali mempersamakan antara hutang
kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat bahwa
hutang hamba yang bersifat 'aini (hutang yang berhubungan dengan harta
peninggalan) itu didahulukan atas hutang muthlak.
c)
Pelaksanaan
wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang dibayar.
d)
pembagian
tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari
ke tiga hak di atas).
3.
Dalil Tentang Pembagian Waris
a.
Ayat waris untuk anak
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ...
Artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta... (QS. An-Nisaa' : 11)
b.
Ayat waris untuk orang tua
....وَلِأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ
فَإِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَةٍ يُوصِي
بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:
“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa' : 11)
c.
Ayat waris buat suami dan istri
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.” (QS.
An-Nisaa' : 12)
Dalil as Sunnah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ
هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً
صَلَّى عَلَيْهِ وَإِلَّا قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ
أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ
تَرَكَ مَالًا فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
Artinya:
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW pernah dihadapkan dengan jenazah
seorang lelaki yang mempunyai utang. Lalu beliau bertanya, "'Apakah ia
meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya?" Kalau beliau diberi kabar
bahwa orang yang wafat itu meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya, maka
beliau mau menshalatkannya. Akan tetapi jika mayat tersebut tidak meninggalkan
sesuatu untuk membayar hutangnya, maka beliau akan berkata, 'Shalatkanlah mayat
temanmu itu.' Ketika Allah memberikan berbagai kemenangan kepada kaum muslimin
dalam menaklukkan banyak negeri, beliau bersabda, 'Aku lebih berhak terhadap
orang-orang yang beriman daripada diri mereka sendiri. Oleh karena itu, barang
siapa di antara kamu yang meninggal dunia sedangkan ia mempunyai utang maka akulah
yang akan membayarnya, dan barang siapa meninggalkan harta maka hartanya itu
untuk ahli warisnya'." {Muslim: 5/62}
4.
Rukun
Waris
a. Pewaris (Al-Muwarris), yakni orang yang meninggal dunia, dan
ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
b. Ahli waris (Al Waarits), yaitu mereka yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c. Harta warisan (Al Mauuruts), yaitu segala jenis benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
5.
Syarat-Syarat
Pewarisan
Ada
tiga syarat :
a.
Kematian
orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara
hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang.
Keputusan tersebut menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara
hahiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan
yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur
itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.
b.
Pewaris
itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara
hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara hukum dianggap hidup, karena
mungkin ruhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup
sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau
tertimbun; maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu
termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing mereka itu
dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
c.
Bila
tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
6.
Sebab-sebab
mendapatkan warisan
a)
Nikah
dengan akad yang sah, hanya dengan akad nikah maka suami bisa mendapat harta
warisan istrinya dan istripun bisa mendapat warisan dari suaminya.
b)
Nasab
(keturunan), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, keturunan
seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman serta anak-anak mereka.
c)
Perwalian,
yaitu ashobah yang disebabkan kebaikan seseorang terhadap budaknya dengan
menjadikannya merdeka, maka dia berhak untuk mendapatkan warisan jika tidak ada
ashobah dari keturunannya atau tidak adanya ashab furudh.
7.
Penghalang-Penghalang
Pewarisan
a)
Perbudakan
: Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat warisan, karena dia
milik tuannya.
b)
Membunuh
tanpa alasan yang dibenarkan: Pembunuh tidak berhak untuk mendapat warisan dari
orang yang dibunuhnya.
c)
Perbedaan
agama : Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi saw
bersabda:
"Seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, seorang
kafirpun tidak mewarisi dari seorang muslim". Diriwayatkan oleh
Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq dan An-Nakha'i.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus
untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok delapan yang disyaratkan dalam
Al-Qur'an. Dalil yang berasal dari Al Qur’an yang berisi tentang zakat adalah
QS At-Taubah: 103, QS Al-Baqarah : 43.
Infaq berbeda dengan zakat,infaq tidak
mengenal nisab atau jumlah harta yang ditentukan secara hukum. Infaq tidak
harus di berikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya
orang tua ,kerabat, anak yatim, orang miskin atau orang-orang yang sedang dalam
perjalanan. Dengan demikian pengertian infaq adalah pengeluaran sukarela yang
dilakukan seseorang. Dasar hukum
berinfak ada di QS Ali-Imron : 134
Sedekah merupakan ibadah
yang sifatnya lentur, artinya tidak dibatasi oleh waktu ataupun batasan
tertentu dan tidak terbatas baik berupa materi ataupun non materi. Artinya
segala bentuk perbuatan baik itu adalah sedekah. Dasar hukumnya firman Allah QS
At Taubah 103
Wasiat adalah penghibahan
benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan
bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang
yang berwasiat. Dasar hukum dalam berwasiat terdapat pada QS. Al-Baqarah : 180.
Waris adalah harta peninggalan yang
ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris ialah orang yang berhak
menerima harta peninggalan orang yang meniggal. Dalil Tentang Pembagian Waris
(QS. An-Nisaa' : 11)
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Zainuddin. (2007). Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
Azzam , Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. (2015). Fiqh
Ibadah : Thaharah, Shalat, Zakat,
Puasa dan Haji. Jakarta: Amzah.
Hidayatullah, Syarif. (2008). Ensiklopedia rukun islamibadah
tanpa khalifah zakat. at- kautsar
prima.
Projodikoro, Wiryono. (1983). Hukum Warisan di Indonesia. Bandung:
Sumur.
Rofiq, Ahmad. (2000). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Sabiq,
Sayyid. (1988). Fiqh Sunnah Jilid 14 : Faroidh (Waris). Bandung:
Alma’arif.
Yunus, Mahmud. (1990). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung.
https://almanhaj.or.id/3430-setiap-manusia-wajib-bersedekah.html
[1] Syarif
hidayatullah. Ensiklopedia rukun islamibadah tanpa khalifah zakat(at-kautsar
prima 2008),hlm 4
[2] Abdul
Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,2015,Fiqh Ibadah :
Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji,Jakarta: Amzah, cet.4, hlm.344.
[3]Ibid,hlm.62
[4]Op.cit,hlm
9
[5]Ibid,hlm.10
[6]Ibid,hlm.29
[8] Abdul
Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,Op.cit, hlm. 426
[9]
https://almanhaj.or.id/3430-setiap-manusia-wajib-bersedekah.html
[11] Mahmud
Yunus,1990,kamus Arab-Indonesia,Jakarta: Hidakarya Agung,cet.8,hlm.496.
[12] Ahmad
Rofiq,2000,Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet.4,hlm.355.
[13] Wiryono
Projodikoro,1983,Hukum Warisan di Indonesia,Bandung: Sumur,hlm.13.
[14] Sayyid
Sabiq,1988,Fiqh Sunnah Jilid 14 : Faroidh (Waris),Bandung: Alma’arif,
cet.2.
Komentar
Posting Komentar