Tafsir Ayat Tentang Riba


MAKALAH
RIBA
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok Tafsir Ayat Ekonomi
Dosen pengampu: Khoirur Rojiin, Lc, M.Pd.I

Kelompok 2
Disusun oleh:
1.    Emilia Syafira                   1602040186
2.    Fajar Arifin                      1602040188
3.    M.Khairul Al-Azhar        1602040220
4.    Rian Ardiansyah              1602040210
5.    Susi Wariyanti                  1602040158
Kelas: ESy D
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) METRO
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.
Alhamdulillah wa syukrulillah bahwa berkat rahmat dan anugrah-Nya makalah ini dapat kami selesaikan.
Makalah ini kami kami susun dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dengan materi Riba dari dosen pengampu Khoirur Rojiin, Lc, M.Pd.I. Dengan isi yang telah kami kembangkan dari berbagai sumber yang ada.
Kami sadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dari segi isinya, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu saran, kritik, dan perbaikan dari pembaca dengan senang hati akan kami nantikan.Semoga apa yang telah kami upayakan bisa memberi manfaat yang maksimal dan mendapatkan ridho-Nya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


                                                                        Metro, 27 September 2017


                                                                                                Penulis



DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................           i
KATA PENGANTAR .....................................................................................................           ii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................           iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang.........................................................................................................           1
B.     RumusanMasalah.....................................................................................................           1
C.     Tujuan......................................................................................................................           1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Riba........................................................................................................           2
B.     Sejarah Pelarangan Riba........................................................................................             4
C.     Dasar Hukum Riba..................................................................................................           5
D.    Jenis-jenis ................................................................................................................           9
E.     Hal-hal Yang Menimbulkan Riba............................................................................           10
F.      Pendapat Ulama tentang Riba.................................................................................           11
G.    Faktor Penyebab memakan dan diharamkannya Perbuatan Riba............................           13
H.    Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba....................................................................           14
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..............................................................................................................           16
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
       Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari'at Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
       Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah). Riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa pinjaman, jual beli dan lain sebagainya. Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama.
       Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Dalam makalah ini, penyusun akan memaparkan topik-topik yang berhubungan dengan riba mulai dari: Pengertian, Hukum Riba, Jenis-jenis Riba, Faktor Penyebab diharamkannya Riba dan Dampak yang timbul dari riba.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Riba?
2.      Bagaimana Hukum Riba?
3.      Apa saja jenis-jenis dari Riba?
4.      Apa saja Faktor Penyebab memakan dan diharamkan perbuatan Riba?
5.      Bagaimana dampak dari adanya Riba?
C.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Riba.
2.      Untuk mengetahui Hukum Riba.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis dari Riba.
4.      Untuk mengetahui faktor penyebab memakan dan diharamkan perbuatan Riba.
5.      Untuk mengetahui dampak dari adanya Riba.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
       Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),[1] berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa'). Dan, yang dimaksud dengan tambahan disini adalah tambahan pada pokok harta, baik sedikit maupun banyak. [2]
       Riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak. Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
       Menurut Abdurrahman al- Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ribba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memilikki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminam dari waktu yang telah ditentukan.[3] Yusuf al-Qardhawi dalam fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram mengatakan, “setiap pinjaman yang mensyaratkan di dalamnya tambahan adalah Riba.”
       Pengertian senada disampaikan jumhur ulama sepanjang sejarah islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut:
1.        Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Sahih al-Bukhari
“prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
2.        Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3.        Raghib al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”
4.        Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’i
“Dari penjelasan Imam an-Nawawi sangat jelas bahwa salah satu bentuk Riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.”
5.        Imam Ahmad bin Hambal, pendiri Mazhab Hambali,
Ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang riba, ia menjawab: “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan nelunasi atau membayar lebih. Jika tidak mampu melunasi, ia harus manambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan.”
6.        Qatadah
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguha.”
7.        Zaid bin Aslam
“yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata ‘bayar sekarang atau tambah’”
8.      Menurut al-Mali
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
9.      Syaikh Muhammad Abduh
“Penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan”.


B.       Sejarah Pelarangan Riba
       Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.
1.        Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian seterusnya.
·      Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh menambah tenggatnya.
·      Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Tambahan itu adalah ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.
·      Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba yang dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang  mempunyai piutang dari orang lain. Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni menangguhkannya."
2.        Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus dibayar dengan bunga.
·      Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.
3.        Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan.
·      Ibnu hajar al-Haitsami menyatakan, "riba nasi'ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya tiap bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran, kalau tidak mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.

C.      Dasar Hukum Riba[4]
       Riba diharamkan dalam semua agama samawi. Riba dilarang dalam Yahudi, Nasrani dan Islam.         Al Qur’an berbicara tentang riba dalam beberapa tempat sesuai dengan urutan waktu.
1.        Pada periode mekah, ayat yang pertama sekali berbicara tentang riba adalah surah ar-Rum: 39, yang berbunyi:
            New Picture.png
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
2.        QS An-Nisa ayat 160-161
New Picture (77).bmp
New Picture (78).bmp
Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
       Pada waktu itu orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar. Mereka mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan. Sebagian budaya yang diharamkan adalah Riba. Hanya orang yang berimanlah yang tidak mau melakukannya seperti Abdillah bin Salam, tsa’labah bin sa’yah. Sehubungan dengan itu maka Allah menurunkan ayat 160-161 sebagai kabar bahwa perbuatan mereka salah dan berita gembira bagi mereka yang beriman (HR Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Abdillah bin Yazid Al Murqi dari Sofyan bin Unaiyah dari Amrin dari Ibnu Abbas).
3.        Pada periode madinah, turunlah pengharaman riba secara jelas dalam firman Allah swt., New Picture (74).bmp
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Ali Imran : 130)
a.       Sebab Turunnya Ayat
Menurut Muahid, orang Arab terbiasa melakukan transaksi jual beli dengan jangkka waktu (kredit). Jika waktu pembayaran tiba, mereka ingkar dan tidak mau membayar. Dengan demikian, bertambah besar bunganya, dan semakin pula bertambah jangka waktu pembayaran. Atas praktik tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut.
b.      Penjelasan Ayat
Di dalam surah Ali Imran ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa:
-            Yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, ummumnya umat manusia beragama islam.
-            Peringatan untuk menjauhi memakan Riba.
-            Takutlah kepada Allah dalam memakan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan siksa dari Allah.

4.        Dan, ayat yang dengannya pensyariatan ditutup adalah firman Allah swt.,
QS Al Baqarah ayat 275:
New Picture (80).bmp
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
       Ibnu Katsir berkata, “Allah Swt menyebutkan perihal orang-orang yang memakan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil serta melakukan usaha syubhat. Melalui ayat ini Allah Swt memberitakan keadaan mereka kelak saat mereka dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat dihimpunnya semua makhluk. Untuk itu Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
       Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi mereka sangat buruk”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman,
New Picture (81).bmp
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 276)
       Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
       Ibnu Katsir berkata bahwa Allah menghapuskan riba dan melenyapkannya. Hal ini terjadi dengan cara melenyapkan riba secara keseluruhan dari tangan pelakunya atau dicabut berkah hartanya sehingga ia tidak dapat memanfaatkannya melainkan menghilangkannya di dunia dan di akhirat kelak Dia akan menyiksanya.
New Picture (75).bmp
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”(QS Al Baqarah : 278)
a.         Sebab Turunya QS Al Baqarah Ayat 278
Ibnu Abbas berkata “Suatu ketika, bani Mughirah mengadu kepada gubernur makkah (Attab bin Usaid) bahwa mereka menghutangkan hartanya kepada bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Kemudian, bani Amr bin Auf meminta penyelesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini, Atab mengirim surat laporan kepada Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah ayat ini (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Mandah).
b.        Penjelasan Ayat
Ayat ini adalah sebuah perintah, tetapi perintahnya adalah untuk meninggalkan. Di dalam ushul fiqh larangan terhadap sesuatu adalah berarti perintah untuk berhenti mengerakan sesuatu tersebut. Dalam hal ini larangan untuk mengerjakan riba berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharapan. New Picture (76).bmp
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(QS Al Baqarah : 279)
       Ayat ini adalah bantahan yang tegas bagi orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali apabila berlipat ganda karena Allah tidak membolehkan selain pengambilan pokok harta tanpa tambahan. Dan ini adalah ayat terakhir yang diturunkan berkaitan dengan perkara ini.
Riba adalah salah satu dari dosa-dosa besar.
       Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw., bersabda:
 Jauhilah tujuh dosa yang membinasakanmu” para sahabat berkata, “ Apa itu saja, wahai Rasulullah?” beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada hari peperangan, dan menuduh berzinah para perempuan yang terjaga, lalai (dari zinah yang dituduhkan kepada mereka), dan beriman.
       Allah melaknat semua orang yang terlibat dalam akad riba. Allah melaknat kreditor (pemberi utang) yang mengambil riba, debitor (pemilik utang) yang memberikan riba,juru tulis yang menulis riba, dan dua orang saksi yang menyaksikan riba. Seperti hadist yang Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw telah melaknat pemakan riba, yang mewakili, saksinya dan penulisnya”. (HR Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, “Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya, dosa perbuatan tersebut lebih berat daripada dosa enam puluh kali zina”. (HR Ahmad)

D.      Jenis-jenis Riba
Jumhur ulama membagi riba dalam 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah :
1)        Riba al-fadhl (riba pertukaran)
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat harta pada akad jual beli yang diukur dan sejenis”
Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.
Oleh karena itu, jika melaksanakan akad sharf (penukaran) antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. Larangannya adalah menukar atau menjual komoditi yang sama (terkait dengan 6 komoditi yaitu emas, perak, gandum, biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah yang berbeda.
2)        Riba nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”.
Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atau barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau diutangkan karena adanya tambahan waktu pembayaran atau penyerahan barang baik yang sejenis ataupun tidak.
       Namun, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qordh dan jahiliyah, sedangkan kelompok kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan nasi’ah.[5]
1.        Riba qardh adalah suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berhutang  (muqtaridh).
2.        Riba  jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
3.        Riba fadl adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Ini haram berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ karena merupakan sarana menuju riba nasi’ah. 
4.        Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan, atau diutangkan karena diakhirkan waktu  pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak.[6]

E.       Hal Yang Menimbulkan Riba
1. Tidak sama nilainya
2. Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukurannya
3. Tidak tunai di majelis akad


F.       Pendapat Ulma tentang ‘illat Riba
       Ulama sepakat menetapkan Riba Fadhl pada tujuh barang seperti terdapat pada nash, yaitu emas, perak, gandum syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan. Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat:
1.        Zhahiriyah hanya mengharamkan ke tujuh benda tersebut.
2.        Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang.
3.        Imam Syafi’i dan sebagian imam Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas, perak, dan makanan meskipun tidak ditimbang.
4.        Said ibn Musayyah dan sebagian riwayat Ahmad mengkhususkan pada makanan jika di timbang.
5.        Imam Malik mengkhususkan pada makanan pokok.

Untuk lebih jelas nya perbedaan pendapat tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
a.         Mazhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis tersebut ditimbang utuk diperjualbelkan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadis sahih dari Said al-Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a bahwa Nabi SAW. Bersabda:
(jual-beli)emas dengan emas, keduanya sama,tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual-beli) perak dengan perak keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual-beli) syair dengan syair, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, jual beli kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual-beli) garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba.

b.        Mazhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja (makanan selain untuk mengibati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadh pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan ulama Malikiyah menetapkan illat diatas antara lain, apabila dipahami agar tidak tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.

c.         Madzhab Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb :
1.         Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok.
2.         Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering.
3.         Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.
       Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus memenuhi kriteria :
a)         Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang.
b)        Sama ukurannya.
c)         Tumpang terima
       Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”.
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.

d.        Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.
Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”. (HR Daruquthni)
G.      Faktor Penyebab Memakan dan Di Haramkannya Perbuatan Riba
Faktor Penyebab Memakan Riba:
1.      Nafsu dunia kepada harta benda
2.      Serakah harta
3.      Tidak pernah merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan
4.      Imannya lemah
5.      Selalu Ingin menambah harta dengan berbagai cara termasuk riba
Faktor Penyebab di haramkan Riba:
1.      Merugikan orang lain
2.      Sama dengan mengambil hak orang lain
3.      Mendapat laknat dari Allah SWT.
4.      Neraka ancamannya
5.      Termasuk perbuatan syetan yang keji
6.      Memperoleh harta dengan cara yang tidak adil

Adapun hal-hal yang menimbulkan riba diantaranya adalah :
a)      Tidak sama nilainya.
b)      Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukuran.
c)      Tidak tunai di majelis akad
Berikut ini merupakan contoh riba penukaran :
·         Seseorang menukar uang kertas Rp 10.000 dengan uang receh Rp.9.950 uang Rp.50 tidak ada imbangannya atau tidak tamasul, maka uang receh Rp.50 adalah riba.
·         Seseoarang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjman dalah riba sebab tidak ada imbangannya.
·         Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras  dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba, seabab beras harus ditukar dengan beras yang sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan  keluarnya  ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
H.      Dampak Riba
Riba dapat berdampak buruk terhadap:
·         Pribadi seseorang
·         Kehidupan masyarakat
·         Ekonomi
Dampak riba yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-hari:
a.       Kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja
b.      Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin
c.       Mustahik (penerima zakat) semakin meningkat dan muzakki (pembayar zakat) semakin menurun
d.      Terjadinya over produksi
e.       Monopoli
f.       Penimbunan barang
g.      Matinya sedekah
h.      Pengurangan timbangan
i.        Makanan semakin tidak berkualitas dan syubhat
j.        Cara penawaran barang (iklan) dusta
k.      Sumpah palsu
l.        Kerusakan harga
m.    Upah semakin turun
n.      Harga barang terus naik

Akibat-akibat buruk yang di jelaskan para ekonom muslin dan non-muslim, di antaraya:
a)      Riba merusak sumber daya manusia
b)      Riba merupakan penyebab utama terjadinya Inflasi
c)      Riba menghambat lajunya pertumbuhan ekonomi
d)     Riba menciptakan kesenjangan social
e)      Riba Faktor utama terjadinya krisis Ekonomi Global.













BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
·           Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
·           Riba diharamkan dalam semua agama samawi. Riba dilarang dalam Yahudi, Nasrani dan Islam.
·           Macam-macam riba yaitu: Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.
·           Dampak Riba pada ekonomi: Riba (bunga) menahan pertumbunhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional serta kesejahteraan individual. Riba (bunga) menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi (distorsi ekonomi) seperti resesi, depresi, inflasi dan pengangguran.
















DAFTAR PUSTAKA

Diana, Ilfi Nur. 2012.  Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN-Maliki Press.
Hadi , Abu Sura'i Abdul. 1993.  Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib. Surabaya: al-Ikhlas.
Sabiq, Sayyid. 2013.  Fiqh Sunnah Jilid 5. PT.Tinta Abadi Gemilang, cet.1.
Suhendi, Hendi. 2013. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Perss.


[1] Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hal. 125.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5, (PT.Tinta Abadi Gemilang,cet.1, 2013), hal. 103.
[3] Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Perss, 2013), hal.58
[4] Sayyid Sabbiq, Op.cit. hal.103-105.
[5] Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang: UIN-Maliki Press, 2012), hal.133-135.
[6] Hendi Suhendi, Op.cit,hal.62.

Komentar

Postingan Populer