Ayat Muhkam dan Mutasyabih
ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH
Kata muhkam diambil dari kata ahkama artinya mencegah. Al-hukmu artinya memisahkan antara dua hal, maka seseorang dikatakan hakim karena ia mencegah kezhaliman dan memisahkan antara dua orang yang beselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar dan dusta. Maka kata hikmah artinya mencegah bagi pelakunya dari hal yang tidak layak. Dan kata muhkam artinya diyakinkan dan dipastikan. Secara bahasa muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan pemisahan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat.[1]
Semua ayat Al-Qur’an adalah muhkam, maksudnya adalah Al-Qur’an itu kata-katanya kuat, kokoh, rapih, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafadz-lafadznya, rangkain kalimatnya maupun maknanya, sebagaimana ditegaskan dalam QS Hud ayat 1
الر ۚ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Artinya :” Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkret maupun abstrak. Dikatakan pula, mutasyabih adalah mutamatsil (sama atau serupa) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.[2] Sehingga dapat pula kita mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an adalah mutasyabih[3] sebagaimana ditehaskan dalam QS Az-zumar ayat 23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ...
Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang...”Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai muhkam dan mutasyabih:
- Menurut As-Suyuthi Muhkam adalah sesuatu yang tak jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
- Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang di dalalahnya kuat baik maksud maupun lafaznya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami.
- Menurut Manna’ Al-Qaththan muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.[4]
- Definisi yang oleh Dr. Amir dinyatakan sebagai pendapat Ahlu Sunah. Muhkam atau muhkamat adalah ayat yang bisa dimengerti pesannya dengan gamblang atau dengan melalui takwil, karena ayat yang perlu ditakwil itu mengandung pengertian dari satu kemungkinan. Adapun mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertiannya pasti diketahui oleh Allah Swt. Misalnya saat datangnya hari kiamat dan makna huruf tahajji, yakni huruf-huruf yang terdapat pada awal surah seperti Qaf, Alif, Lam, Mim dan lain-lain.
- Definisi dari Ibnu Abbas , muhkam adalah ayat-ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang mengandung bermacam-macam pengertian.
- Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap. Akan tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya, bilangan reka’at di dalam shalat lima waktu. Demikian juga penetapan kewajiban shaum yang dijatuhkan pada bulan Ramadhan, bukan bulan sya’ban atau muharam.
- Ayat-ayat Al-Qur’an yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib diimani dan diamalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat padanya terdapat mansukh dan qasam (sumpah), serta yang wajib diimani, tetapi tak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkap makna yang dimaksud.
- Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang mengandung halal dan haram. Ayat-ayat mutasyabih di luar ayat-ayat tersebut,
- Ayat muhkam adalah ayat yang tidak ter-naskh (tidak mansukh). Sementara ayat mutasyabihat adalah ayat yang di-
B. Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:
هوالّذي انزل عليك الكتب منه ايت محكمت هن ام الكتب واخر متشبهت.... (ال عمران:)
Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat....”. (Q. S. Ali Imron: 7)C. Sebab-sebab terjadinya Ayat Mutasyabih dan Pembagian Ayat-ayat Mutasyabihah
- Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh ( kesamaran makna ) dalam Al-Qur’an
- Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
"Dan buah-buahan serta rumput-rumputan." (Q.S. 'Abasa 80: 31)
Lafal abban (اًّبأ) di sini Mutasyabih karena ganjil dan jarangnya digunakan. Kata abban (اًّبأ) diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya Q.S. Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
- Mutasyabihat dari segi makna,
- mutasyabihat dari segi lafadz dan makna terbagi menjadi lima bagian:
- Dilihat dari segi ukuran (kammiyyah) seperti umum dan khusus, contohnya faqtuluu al-musyrikin QS At-Taubah:5
- Dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau sunah, contohnya: fankihu ma thaba lakum (QS An-Nisa’: 3)
- Mutasyabihat dari segi waktu seperti nasikh dan mansukh, contoh: ittaqullaha haqqa tuqatih(QS Ali Imran: 102).
- Mutasyabihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang memang ayat tersebut turun di tempat itu, seperti wa laisa al-birra bi an ta’tu al-buyut min zhuhuriha (QS Al-Baqarah : 189).
- Dari segi syarat-syarat yang menentukan sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat dan nikah.[7]
- Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih
a. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59.
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz).”
b. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
c. Ayat-ayat Mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
D. Contoh Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
- Contoh ayat Muhkam
Wahai manuasia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah: 21)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perepuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS. Al-Hujurat: 13)
- Contoh Ayat mutasyabih
- QS Thaha ayat 5
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.
- QS Al-An’am ayat 61
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.
- QS Ar Rahman ayat 27
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
- QS Thaha ayat 39
(... supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.)
Demikianlah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat Allah. Yang termasuk sifat-sifat Allah dalam ayat-ayat di atas adalah terdapat kata-kata bersemayam, di atas, wajah, dan pengawasan (mata). Kata-kata tersebut menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota yang layakk dipakai bagi makhluk yang baru, misalnya manusia.[9]
- QS Al A’raf ayat 54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(QS Al A’raf : 54)
Penciptaan langit dan bumi dalam enam masa atau enam hari dalam ayat di atas barangkali dapat diketahui maksudnya oleh para ilmuwan setelah menyelidikinya secara mendalam, walaupun interpretasinya bisa berbeda-beda. Tetapi bagian selanjutnya yaitu pernyataan bahwa setelah penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, maka Allah SWT bersemayam di atas 'Arasy. Bagian ini hanya Allah yang tahu maksudnya. Kata perkata kita bisa tahu artinya, tetapi bagaimana maksudnya hanya Allah yang mengetahuinya. Kita hanya wajib mengimaninya bahwa Allah SWT bersemayam di atas 'Arasy tanpa bertanya kaifiyah atau teknisnya.[10]
E. Padangan Ulama dalam Menghadapi Ayat-Ayat Mutasyabihah
Di kalangan ulama tafsir terdapat perbedaan pendapat mengenai ayat mutasyabih ini. Apakah ayat itu diketahui artinya atau takwilnya atau tidak, kemudian mengenai perbedaan apakah manusia itu berhak mengetahui maksud yang tersembunyi itu atau hanya Allah yang tahu. Perbedaan pendapat di kalangan ulama ini pada intinya berawal dari pemahaman ayat 7 surah Ali Imran:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألباب
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid (dari kalangan sahabat) berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka ini beralasan lafadz al-rasikhuna diathofkan kepada lafadz Allah. Menurut mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan tidak melimpahkan kepada manusia (ulama) yang mendalami ilmunya tentang ayat-ayat mutasyabihat baik tentang pengertian maupun takwil, berarti mereka sama saja dengan orang awam.
Walaupun ada ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu dapat ditakwilkan oleh manusia, namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seorang pun kecuali Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cari takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.[11]
Menurut Mannâ' al-Qaththân, kedua pendapat di atas dapat dikompromikan dengan merinci makna takwil. Takwil dapat digunakan untuk menunjukkan tiga hal: [12]
- Takwil berarti memalingkan sebuah lafazh dari al-ihtimâl ar-râjih (makna yang kuat) kepada al-ihtimâl al-marjûh (makna yang lemah) karena ada dalil yang menghendakinya.
- Takwil berarti tafsir, yaitu menjelaskan lafazh-lafazh sehingga maknanya dapat dipahami.
- Takwil berarti hakikat sesuatu yang disampaikan dalam pembicaraan.
F. Hikmah muhkam dan mutasyabih
Dari segi apakah bisa diketahui atau tidak, ayat-ayat mutasyâbihât dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian:
- Ayat-ayat mutasyâbihât yang hanya dapat diketahui hakikatnya oleh Allah SWT semata, seperti ayat-ayat tentang masalah-masalah yang ghaib;
- Ayat-ayat mutasyâbihât yang dapat diketahui oleh siapa saja setelah mempelajarinya seperti ayat-ayat yang lafalnya gharîb, musytarak, dan kalimatnya padat, luas atau karena susunan kalimatnya;
- Ayat-ayat mutasyâbihât yang tidak dapat diketahui oleh orang awam, tetapi hanya dapat diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya. Masing-masing bagian dari Ayat-ayat mutasyâbihât tentu ada hikmahnya. [13]
- Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
- Memberikan pemahaman abstak ilahiyat kepada manusia melalui penyelaman indrawi yang biasa dibiasa disaksikan.
- Dapat menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
- Termanfaatkannya empat mazhab dalam proses penafsirannya dan dari penganut masing-masing mazhab dapat memperhatikan dan merenungkannya.
- Dapat melahirkan beberapa ilmu untuk proses penafsiran seperti ilmu bahasa, gramatika, ilmu bayan, ushul fiqh dan lain-lain.
- Teguran bagi ornag-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih.
- Ayat-ayat mutasyabih merupakan rahmat bagi manusia yng lemah yang tidak mampu mengetahui segala sesuatu,
- Ayat-ayat ini menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia.
- Ayat-ayat mutasyabih menguatkan kemukjizatan dalam Al Qur’an.
[2] Ibid.hlm.134.
[3] Subhih As-Shalih,Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an,cet.16,jakarta:Pustaka Firdaus,1996,hlm.371.
[4] Abu Anwar,Ulumul Qur’an sebuah pengantar,cet.1,Amzah,Pekanbaru,2002,hlm.77-78.
[5] Acep Hermawan,2011,’Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami wahyu,cet.1.Bandung:Remaja Rosdakarya, hlm.144-145.
[6] H. Yunahar Ilyas,Kuliah Ulumul Qur’an,Yogyakarta, 2014, Iqtan Publishing,hlm.198-199.
[7] H.Anshori,M.Ulinnuha Khusnan,Op.cit,hlm 138.
[8] Siti Nurjanah,Ulum Al-Qur’an,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2013,cet.1,hlm.71-72
[9] Ibid.
[10] H.Yunahar Ilyas,Op.cit,hlm.194.
[11] Siti Nurjanah,Op.cit.hlm.70.
[12] H.Yunahar Ilyas,Op.cit,hlm.201.
[13] Ibid.hlm.203.
Komentar
Posting Komentar