Rukun-rukun Qiyas
MAKALAH
Rukun-rukun
Qiyas
Di
Ajukan Kepada Salah Satu Syarat Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu : Drs. H. Musnad Rozin, M.H.
Disusun
Oleh :
Nama : Susi Wariyanti
NPM : 1602040158
Prodi/Kelas : Ekonomi Syariah/D
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TAHUN
2016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai Umat Islam dalam kehidupan
sehari-hari ada aturan yang mengatur segala aktivitas kita. Dan semua aturan
serta batasan hukum yang mengatur Umat Islam didasarkan pada Alqur’an dan
Sunnah. Banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, karena di
dalam Alqur’an dan Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas hukumnya.
Oleh sebab itu diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap dan
memperjelas bahkan menentukan suatu Hukum. Salah satu cara yang digunakan oleh para
Ulama’ yaitu dengan melakukan pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad dan
salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas. Qiyas merupakan suatu cara
penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau
kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam
Alqur’an dan Sunnah. Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak di
nashkan dengan hukum lain yang dinashkan karena adanya persamaan illat
hukumnya.[1]
Qiyas sendiri memiliki rukun-rukun qiyas
diantaranya ashal, cabang (furu), hukum ashal dan illat hukum. Disini pemakalah akan memaparkan tentang
rukun-rukun yang ada dalam qiyas.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat
dirumuskan masalah yaitu apa saja yang menjadi
rukun-rukun qiyas?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui tentang apa saja rukun-rukun dari qiyas?
BAB II
PEMBAHASAN
Rukun-rukun Qiyas
Banyak takrif qiyas yang dikemukakan para
ulama, sesuai dengan pengamatan dan tijauannya masing-masing. Tiap-tiap qiyas
itu terdiri dari empat rukun/unsur-unsur qiyas yaitu: ashal, cabang (furu),
hukum ashal dan illat hukum.
1.
Ashal
Ashal yaitu sesuatu yang di-nash-kan
hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan. Ashal (pokok) adalah sesuatu yang
dibangun di atas hal yang lain. Artinya, pokok adalah segala sesuatu yang
diketahui dengan dirinya secara mandiri tanpa adanya kebutuhan pada yang lain.[2]
Dalam istilah Ushul Fiqh disebut
Al-Ashlu atau al-maqis alih atau al-musyabah bihi. Ashal ini harus berupa nash,
yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah atau Ijma. Di samping itu ashal juga harus mengandung illat hukum.[3]
Menurut
Imam Syafi’i, ia hanya mengakui itihad dalam bentuk al qiyas saja,
karena menurutnya hanya al qiyas yang mengharuskan adanya sanad (landasan).
Ia tidak mengakui bentuk itihad yang tidak mempunyai sanad (landasan).
Ia menolak istihsan, karena dianggapnya tidak mempunyai sanad. Sanad
dalam istilah Imam Syafi’i disebut khabar mutaqaddam, sedangkan
dalam istilah ulama usul lainnya disebut ashal.[4]
Syarat-syarat Ashal:
a.
Harus
ada dalil atau petunjuk yang memperbolehkan meng-qiyas-kan sesuatu
kepadanya, baik secara nau’i atau syakhsi (lingkungan yang sempit
atau terbatas). Persyaratan ini dikemukakan oleh ‘Ustman Al-Baththi (Ustman ibn
Muslim), seorang ahli fiqh di Bashrah pada masa Abu Hanifah. Berdasarkan
pendapay ini, maka tidak dipergunakan qiyas dalam masalah jual beli,
umpanya kecuali ada dalil yang membolehkan untuk meng-qiyas-kan
kepadanya. Jumhur ulama menolak pendapat ini persyaratan ini karena menurut
mereka tidak ada dalil yang mensyariatkannya.
b.
Harus
ada kesepakatan ulama tentang adanya 'Illat pada ashal maqis ‘alaih.
Persyaratan ini dikemukakan oleh Basyir al-Marisi (Basyir ibn Ghiyas bin Abi
Karimah), salah seorang tokoh kedlompok Mubtadi’ah. Berdasarkan pendapat ini
tidak dapat di-qiyas-kan sesuatu kepada ashal, bila ulama berbeda
pendapat tentang adanya Illat padanya. Jumhur ulama juga menolak
pernyataan ini karena menurutnya tidak ada dalil atau petunjuk yang
mempersyaratkannya.[5]
Contoh ashal adalah minum khamar, karena di
dalam hukumnya itu terdapat nash. Yaitu firman Allah yang berbunyi , jauhilah
olehmu. Menunjukkan haram meminumnya, sebab minumannya memabukkan.[6]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban
untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah
: 90)
2.
Cabang
(Furu)
Cabang yaitu sesuatu yang tidak
di-nash-kan hukumnya yaitu yang diqiyaskan. Furu itulah yang dikehendaki untuk
disamakan hukumnya dengan ashal.[7] Dalam
istilah Ushul Fiqh disebut Al-fa’ru, al-maqis atau –al-musyabah. Umpamanya
minuman keras yang bernama wiski yang tidak tersebut hukumnya dalam nash syara’
yang akan ditetapkan hukumnya melalui qiyas.[8] Imam
Syafi’i tidak menyebutkan secara tegas apa yang disebut far’, akan
tetapi dari apa yang diriwayatkannya sebagai berikut:
“ apabila kita temui pada
peristiwa yang tak disebutkan dalam Nas suatu makna.. yang sama dengan makna
peristiwa yang disebutkan Nas, maka kita tetapkan halal atau haramnya karena ia
termasuk ke dalam makna halal atau haramnya.”
Perkataan “ peristiwa yang tak
disebutkan dalam nas” itu adalah far’u yang dikenal dalam istilah
ulama usul. Jadi, pengertian far’u menurutnya ialah peristiwa yang tidak
disebutkan secara tegas dalam nas yang dimaksudkan untuk mencari hukumnya
dengan cara meng-qiyas-kannya kepada asl.[9]
Untuk cabang ini harus memenuhi syarat: [10]
a.
Cabang
tidak mempunyai hukum yang tersendiri.
b.
Illat
hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashal.
Maksudnya, seluruh illat yang terdapat pada ashal juga terdapat
pada furu’.
c.
Cabang
tidak lebih dahulu ada daripada ashal. Umpanya meng-qiyas-kan “wudhu”
kepada “tayammum” dalam menetapkan kewajiban “niat”. Wudhu itu lebih dahulu
adanya daripada tayammum. Wudhu disyariatkan sebelum hijrah, sedangkan tayammum
disyariatkan sesudah hijrah. Sementara itu, ditetapkannya tayammum adalah
sebagai pengganti wudhu di saat tidak dapat melaksanakan wudhu. Alasan tidak
bolehnya mendahulukan furu’ dari ashal
karena seandainya dibolehkan demikian tentu berlakunya hukum pada furu’
yang mendahului ashal itu adalah tanpa dalil. Hal demikian tidak boleh
dilakukan, karena berarti menetapkan beban hukum dengan sesuatu yang tidak
diketahui dasar hukumnya.[11]
d.
Hukum
cabang sama dangan hukum ashal. Jika di antara hal itu terdapat perbedaan, maka
rusaklah qiyas; karena tidak terdapat illat pada furu
(dalam hal berbedanya illat) atau tidak adanya hukum ashal pada furu
(dalam hal berbedanya hukum).
3.
Hukum
Ashal
Hukum ashal yaitu hukum syara yang
dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang (furu). Untuk
hukum ashal harus dipenuhi syarat-syarat:[12]
a.
Hukum
ashal itu adalah hukum syara’, karena tujuan dari qiyas syar’i adalah
untuk mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk
itsbat (adanya hukum) atau dalam bentuk nafi (tidak adanya hukum).
Seandainya hukum ashal itu bukan hukum syara’, maka tujuan
penggunaan qiyas tidak akan berhasil.
b.
Hukum
ashal harus merupakan hukum amaliah. Adapun hukum syara amaliah yaitu
ditetapkan dengan ijmak, dalam menta’adikan dengan perantara qiyas itu ada dua
pendapat.[13]
c.
Hukum
ashal harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyariatannya harus rasional.
d.
Hukum
ashal bukan hukum yang khusus. Hukum khusus seperti dilarang menikahi bekas
istri Nabi.
e.
Hukum
ashal masih tetap berlaku. Apabila hukum ashal sudah tidak berlaku lagi
misalnya sudah dimansukh, maka tidak bisa dijadikan hukum ashal.
f.
Dalil
yang menunjukkan hukum pokok tidak sama dengan yang cabang. Jika sama,
penetapan hukum terhadap cabang adalah dengan dalil tersebut dan bukan dengan
qiyas, maka ketika itu qiyas ditanggalkan.[14]
4.
Illat
hukum
Illat adalah perkara yang membangkitkan
hukum, artinya (perkara) yang membangkitkan pensyariatan (hukum) dan bukan
untuk pelaksanaan suatu hukum dan mewujudkannya. Dengan hal ini, illat itu
hendaknya merupakan sifat yang sesuai, yaitu sifat yang (bisa) memberikan
pemahaman, dalam arti bahwa illat tersebut harus merupakan sifat yang mencakup
suatu makna yang sesuai untuk menjadi suatu yang dimaksudkan oleh pembuat
syara’ dalam mensyariatkan suatu hukum.[15] Illat
hukum yaitu suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah
dengan ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum ini contohnya adalah sifat yang
memabukkan.[16]
Seandainya illat itu merupakan sifat yang
menjauhkan, tidak mencakup semua makna yang sesuai untuk menjadikan sifat
tersebut sebagai tujuan pembuatan syara’ dalam mensyariatkan suatu hukum,
bahkan hanya tanda (amarah) saja, illat di dalamnya tertolak. Hal ini
dikarenakan, illat hanya merupakan tanda atas suatu hukum sehingga tidak akan
bermanfaat, selain mengetahui hukum tersebut. Oleh karena itu, sangat keliru
mendefinisikan illat sebagai pengetahuan atas suatu hukum. Adapun fakta bahwa
illat itu bukanlah tanda, tapi membangkitkan pensyariatan (suatu hukum).
Meskipun Illat itu adalah dalil suatu
hhukum, ada perbedaan antara illat dengan khitab pada posisinya sebagai dalil.
Khitab itu adalah dalil atas suatu hukum dan merupakan tanda dari hukum
tersebut dan suatu yang diketahui untuk hukum tersebut. Illat adalah sesuatu
yang membangkitkan (pensyariatan) suatu hukum. Selain itu, illat adalah perkara
yang karena perkara tersebut disyariatkan suatu hukum maka illat tersebut,
mendeskripsikan bentuk illat, yaitu dalalah pada sesuatu yang menyebabkan
teradinya pensyariatan suatu hukum. Oleh karena itu, illat disebut sebagai ma’qulul-nash
(aspek yang dinalarkan dari nash).[17]
Illat
terkada datang dari dalil suatu hukum. Oleh karena itu, hukum tersebut
merupakan apa yang ditunjuk oleh khitab atau illat yang terkandung di dalam
khitab, seperti firman-Nya:
Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.(QS Al-Hasyr : 7)
Selain
itu, firman-Nya:
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah
dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang
yang benar.(QS Al-Hasyr : 8)
Ayat tersebut
menunjukkan suatu hukum, yaitu pemberian fa’i terhadap orang-orang fakir dari
orang-orang Muhajirin. Oleh karena itu Rasulullah SAW. memberikan fa’i tersebut
sebagaimana yang diturunkan dalam ayat
tersebut, yaitu fa’i kaum Yahusi bani Nadhir pada orang Muhairin saa dan tidak
memberikan pada orang Anshar, selain dua orang yang keduanya memenuhi kategori
fakir (dalam ayat tersebut) sebagaimana illat yang terdapat pada ayat tersebut,
yaitu firman-Nya:
...كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
...
“...
agar harta itu jangan hanya beredar di antar orang-orang kaya saa di antara
kamu...”(QS Al-Hasy: 7)
Yakni
agar harta tersebut tidak hanya berputar di antara orang kaya, tetapi juga
berpindah pada yang lain. Illat tersebut menunjuk pada hukum dan illat tersebut
pula yang membangkitkan pensyariatan hukum tersebut.[18]
Illat
hukum ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Illat
itu harus merupakan sifat yang nyata artinya dapat diindrai: tanpa diketahui
dengan jelas adanya illat, tidak dapat diqiyaskan. Seperti misalnya memabukkan
dapat diindrai adanya pada khamar.
b.
Illat
harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti dapat dipastikan
wujudnya pada cabang.
c.
Illat
hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam arti illat tadi merupakan
penerapan hukum untuk mencapai maqasidu syari’ah. Seperti memabukkan ada kaitan
dengan keharaman khamar, keharaman tadi hikmahnya dalam rangka memelihara
aqa/hifdzu al-Aql.
d.
Illat
tersebut berpengaruh pada hukum. Jika illat tersebut tidak mempengaruhi hukum,
tidak boleh menjadi illat. Pengertian bahwa illat itu berpengaruh pada hukum
adalah hendaknya dugaan kuat mujtahid tersebut bahwa hukum yang dihasilkan
adalah ketika penetapan (adanya) illat. Artinya, (hukum tersebut diperoleh)
karena illat tersebut, bukan karena yang lain. Firman-Nya:
لِيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ
لَهُمْ ...
Artinya: “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk
mereka...” (QS Al-Hajj : 28).
Tidak memberikan faedah. Sebab, sifat menyaksikan berbagai manfaat
itu tidak memberikan pengaruh pada hukum. Sifat tersebut bukan merupakan illat.
Adapun firman-Nya:
...كَيْ لَا يَكُوْنَ
دُوْلَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ...
Artinya: “ ...agar harta itu angan hanya beredar di antar orang-orang
kaya saja di antara kamu...” (QS Al-Hasyr: 7)
Memberikan faedah illat. Sebab, sifat agar tidak berputar di antara
orang-orang kaya itu berpengaruh pada hukum dan dengan penetapan illat tersebut
menghasilkan hukum. Dengan demikian, merupakan keharusan hendaknya illat itu
berpengaruh pada hukum.[19]
e.
Illat
bukan sifat yang hanya terdapat pada ashal, sebab apabila sifat itu hanya
terbatas pada ashal tidak mungkin dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan
Rasulullah yang tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain.
f.
Illat
tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nash-lah yang didahulukan.[20]
Contoh qiyas misalnya adalah
penganalogian jual beli dengan aktivias lain yang melalaikan shalat Jumat.
Dengan bersandar kepada nash yang terdapat dalam Al-Quran surat Al Jumuah ayat
9 dan 10 diperoleh al ashlu atau perkara pokoknya adalah ketidak bolehan jual
beli saat dikumandangkan adzan Jumat.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَ ةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ}9{ فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرًا
لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ}10{
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10)
Furu atau perkara cabang misalnya adalah
menyelenggarakan seminar saat shalat Jumat. Al hukmul ashliy atau hukum asal
jual beli saat adzan Jumat adalah tidak boleh. Illat pada penganalogian ini
adalah melalaikan shalat Jumat. Mengingat keempat rukun telah terpenuhi maka
qiyas pada penganalogian kedua perkara ini berfungsi. Hasilnya adalah bahwa
menyelenggarakan seminar atau yang semisal dengan itu adalah tidak boleh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada
empat rukun qiyas. Rukun artinya, bila tidak terpenuhi salah satunya saja, maka
qiyas menjadi tidak sah. Keempat rukun tersebut adalah:
1.
Ashal, yakni perkara yang hukumnya disebutkan
dalam nash dan menjadi sumber qiyas.
2.
Cabang
(Furu), yakni peristiwa yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash yang akan
diqiyaskan kepadaashal.
3.
Hukmul
Ashal, yaitu hukum syara yang terdapat pada nash dalam perkara asal, sebagai
dasar hukum bagi perkara yang akan diqiyaskan.
4.
Illat,
yaitu sebab hukum al ashlu yang akan menjadi penghubung antara perkara asal
dengan perkara yang diqiyaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Sulaiman. 1996. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam kaian Qiyas Imam Syafi’i.Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya
Djazuli, A. 2012. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan
Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Khallaf,Abdul
Wahab dan Halimuddin.2012.Ilmu Ushul Fikih.Jakarta: Rineka Cipta.
Supriadi,
Dedi.2013.Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syafe’i,
Rachmat.2010.Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS.Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin,
Amir.2009.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana.
Syarifuddin,
Amir.2012.Garis-garis Besar Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[1] A.
Djazuli,2012,Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,cet.8,hlm.77.
[2] Dedi
Supriadi,Ushul Fiqh Perbandingan,Bandung: CV Pustaka
Setia,2013,hlm.179.
[3] Ibid.
[4] Sulaiman
Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam kaian Qiyas Imam
Syafi’i, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, cet.1, hlm.114.
[5] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, 2009, cet.4, hlm.195-196.
[6] Abdul Wahab
Khallaf,alih bahasa Halimuddin, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta,
2012, cet.6, hlm.69.
[7] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,Bandung: Pustaka Setia, 2010,
cet.IV, hlm.88.
[8] Amir
Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012, cet.1, hlm.53.
[9] Op.cit.,
Sulaiman Abdullah,hlm.127.
[10] Op.cit,A.Djazuli,hlm.78.
[11] Op.cit.
Amir Syarifuddin,hlm.199.
[12] Ibid.
[13] Op.cit.Abdul
Wahab Khallaf,alih bahasa Halimuddin,hlm.70.
[14] Op.cit.
Dedi Supriadi,hlm.179.
[15]
Ibid,hlm.181.
[16]
Op.cit., Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, hlm.53.
[17] Op.cit.,
Dedi Supriadi,hlm.181.
[18] Ibid,
hlm.184.
[19]
Op.cit., Dedi Supriadi, hlm.195-196.
[20]
Op.cit,H.A.Djazuli,hlm.78-79.
Komentar
Posting Komentar