Teori konsumsi Islam
EKONOMI MIKRO
“TEORI KONSUMSI
ISLAM”
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Dosen
Pengampu: Imahda Khoiri Furqon
Disusun
Oleh
Kelompok
3:
1. Aziz Hanif Mahfud (1602040071)
2. Deni Saputra (1602040078)
3. Susi Wariyanti (1602040158)
4. Tanti Septiana (1602040048)
Kelas
D
Jurusan : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI)
Prody
: Ekonomi Syariah
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
JURAI SIWO METRO
TA.
1438 H/2017 M
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur marilah
kita hadirkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberi kita nikmat yang
begitu banyak dan tak terhingga dan pada akhirnya, Alhamdulillah, berkat rahmat
dan hidayah Allah SWT akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini mengenal” Teori
Konsumsi Islam “. Akan
tetapi kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tentu terdapat kekurangan,
maka dengan segala kerendahan hati kritik dan saran dari pembaca kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk membuka wawasan dan
pengetahuan kita sampai sejauh manakah kualitas ilmu dan pengetahuan kita
terhadap Teori permintaan islami supaya dengan teori permintaan ini kita bisa
membandingkan mana yang baik dengan teori permintaan yang umum atau konvensional.
Kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan tugas ini, kami mengucapkan terima
kasih. Semoga tugas ini bermanfaat bagi kita semua, terutama dari yang pembuat
makalah ini, Amin ya rabbal’alamin.
Metro,
4 September 2017
Kelompok
5
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam teori ekonomi, sebuah
perekonomian akan berjalan jika unsur-unsur dalam ekonomi berjalan dan saling
memanfaatkan satu sama lain sebab pada prinsipnya manusia adalah makhluk social
yang saling ketergantungan antar sesama. Adanya produsen dikarenakan adanya
konsumen. Begitu pula adanya sesuatu yang dihasilkan karena adanya
permintaan dari masyarakat yang memerlukan, sebab konsumen adalah setiap
pemakai atau pengguna barang atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri dan
atau kepentingan orang lain. Namun secara sederhana dapat diartikan sebagai
pengguna barang dan atau jasa, Masing-masing konsumen merupakan pribadi unik
dimana antara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki kebutuhan yang
berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, dari
perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan yakni setiap saat
konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi
suatu barang ataupun jasa. Tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dalam
mengkonsumsi barang disebut dengan utilitas.
B.
Rumusan
Masalah
- Apa pengertian konsumsi dalam ekonomi islam?
- Bagaimana Kepuasan dan Rasionalitas Konsumen Muslim?
- Bagaimana Fungsi dan Peningkatan Utilitas?
- Bagaimana Optimal Solution?
C.
Tujuan
- Untuk
pengertian konsumsi dalam ekonomi islam.
- Untuk
mengetahui Kepuasan dan Rasionalitas Konsumen Muslim.
- Untuk
mengetahui Fungsi dan Peningkatan Utilitas.
- Untuk
mengetahui Optimal Solution.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsumsi
Islam
Konsumsi dalam ekonomi islam adalah
memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan
fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapat kebahagian atau
kesejahteraan di dunia maupun akhirat. Menurut Al-Ghazali konsumsi adalah
(al-hajah) penggunaan barang atau jasa dalam upaya pemenuhan kebutuhan melalui
bekerja (al- iktisab) yang wajib dituntut (fardu kifayah) berlandaskan etika
(shariah) dalam rangka menuju kemaslahatan (maslahah) menuju akhirah. Tujuan
utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah
kepada Allah SWT.
Prinsip dasar dari perilaku konsumsi
menurut M. Arif Mufraini adalah seperti yang dikonfirmasikan QS Al-Baqarah (2):
168
“Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Selain ayat tersebut, beberapa ayat lain
menggariskan prinsip-prinsip pokok perilaku konsumsi, seperti ayat QS Al Maidah
(5) : 88
“Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Menurut Abdul Manan, dalam melakukan
konsumsi terdapat lima prinsip dasar yaitu:
1.
Prinsip
Keadilan
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi,...”(QS Al Bagarah:
168). Prinsip keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi yang halal (tidak
haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh).
2.
Prinsip
Kebersihan
“makanan
diberkahi jika mencuci tangan sebelum san setelah memakannya”(HR Tirmidzi).
Prinsip ini bermakna bahwa makanan yang harus dimakan harus baik, tidak kotor
dan menjijikan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup
makanan: “bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam
gelas” (HR Bukhari).
3.
Prinsip
Kesederhanaan
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS
Al A’raf : 31). Arti penting ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat
mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan
berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4.
Prinsip
Kemurahan Hati
Sifat
konsumsi manusia harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang
masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita
sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang
sangat membutuhkan.
5.
Pinsip
Moralitas
Konsumsi
seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang harus
dikandung dalam islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala kebutuhan.
Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia
agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Seoranng muslim
diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih
setelah makan.
Lebih tegas lagi Yusuf Qardhawi
menguraikan beberapa prinsip perilaku konsumsi dalam Islam sebagai berikut:
1.
Anjuran-anjuran
Islam mengenai perilaku konsumsi dituntun oleh prinsip keadilan, prinsip
kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan prinsip
moralitas.
2.
Pada
umumnya kebutuhan manusia itu digolongkan ke dalam tiga hal yaitu (a)
barang-barang keperluan pokok, (b) barang-barang keperluan kesenangan dan (c)
barang-barang keperluan mewah. Dalam tiga pengelompokan ini, Islam menggariskan
prinsip menurut urutan prioritas kebutuhan yang dikenal dengan al-Maqasid
al-syari’ah dengan istilah daruriyyah, haijjiyah dan tahsiniyyah.
Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat
dijelaskan bahwa prinsip perilaku konsumsi yang dapat memberikan kepuasan
menurut islam adalah barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci
menurut syariat. Perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar artinya tidak
berlebih-lebihan (isyraf) atau boros (tabzir) meskipun seorang
konsumen tergolong hidup kaya atau mampu.
Sedangkan prinsip perilaku
konsumsi secara konvensional menurut Winardi, terpatok pada istilah kepuasan (utilitas).
Istilah kepuasan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk memenuhi suatu
kebutuhan.kemampuan tersebut meliputi (1) kemampuan akan suatu benda material
atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan (2) kebutuhan yang berhubungan
dengan istilah public policy. Istilah ini kemudian melahirkan
istilah-istilah kepuasan tempat (utility of place), kepuasan waktu
(utility of time) dan kepuasan kepemilikan (utility of possession).
Kepuasan tempat ialah kepuasan yang timbul karena fakta suatu benda atau jasa,
tepat pada tempatnya untuk digunakan. Kepuasan waktu ialah kepuasan yang timbul
karena fakta suatu benda atau jasa tersedia pada waktu yang dibutuhkan.
Sedangkan kepuasan kepemilikan ialah kepuasan yang timbul karena fakta suatu
benda atau jasa yang ada, dimiliki oleh orang yang akan menggunakannya.[1]
B.
Kepuasan Dan Rasionalitas Konsumen Muslim
Kepuasan adalah hasrat yang tidak bisa
diukur dengan nilai, masing-masing orang memiliki cita rasa yang berbeda namun
jika yang diinginkan terpenuhi maka akan menghasilkan sebuah kepuasan
tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tidak
membatasi konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsumsi sebagai wujud
kebersinambungan antara sang makhluk (hablu minan nas) dan antara
sang tuhan (hablu minallah). Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan
sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Kepuasan konsumen menurut ekonomi Islam berkaitan erat dengan
kebutuhan, keinginan, maslahat, manfaat, berkah, dan keyakinan dan kehalalan.
Sebab dalam Islam kebutuhan makan bukan saja untuk mengenyangkan perut dan
menghilangkan lapar semata. Tetapi lebih jauh dari itu, tujuan makan supaya
badan sehat, akal berjalan bisa beraktifitas (beribadah). Maka barang yang
dimakan juga tidak boleh hal yang diharamkan.[2]
Perilaku ekonomi sejatinya teori yang
dikembangkan dari muara pemahaman akan rasionalisme ekonomi dan utilitarianisme
kapitalisme. Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia sebagai sesuatu
yang dilandasi dengan perhitungan cermat akan arah pandangan kedepan dan
persiapan akan keberhasilan ekonomi (materil), sedangkan utilitarianisme
ditafsirkan sebagai sesuatu yang berlandaskan pada nilai dan sikap moral.[3]
Yang dimaksud dengan rasionalitas dari
teori ekonomi konvensional adalah bila konsumen dapat memperoleh kebutuhan
barang sebanyak mungkin sesuai dengan anggarannya.[4] Islam
sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari sebuah
perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional
seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek
normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut islam harus
berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal ini Muhammad
Nejatullah Siddiqi mengatakan, konsumen harus puas akan perilaku konsumsinya
dengan mengikuti norma-norma Islam.[5] Konsep rasionalitas dalam teori ekonomi Islam, seorang konsumen harus
mempertimbanghan nilai moral yang menurut ekonomi konvensional berada di luar
ekonomi.
Dalam analisis konsumsi konvensional
dijelaskan bahwa perilaku konsumsi seseorang adalah dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhannya sehingga tercapai kepuasan yang optimal. Sedangkan dalam analisis
konsumsi Islam, perilaku konsumsi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohani.
Sehingga dalam perilaku konsumsi seorang muslim senantiasa memperhatikan
syariat Islam. Misalnya, apakah barang dan jasa yang dikonsumsi halal atau
Karam, apa tujuan seorang muslim melakukan aktivitas konsumsi, bagaimana etika
dan moral seorang muslim dalam berkonsumsi, bagaimana bentuk perilaku konsumsi
seorang muslim dikaitkan dengan keaclaan lingkungannya dan sebagainya.
Dalam
perspektif ekonomi Islam. perilaku konsumsi seorang muslim didasarkan pada
beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan oieh Monzer Kahf, yaitu :
1. Islam merupakan suatu agama yang diterapkan di tengah
masyarakat.
2. Zakat hukumnya wajib.
3. Tidak ada riba dalam masyarakat.
4. Prinsip mudharabah diterapkan dalam aktivitas bisnis.
5. Konsumen berperilaku rasional yaitu berusaha mengoptimalkan
kepuasan.
Konsumen
muslim dari penghasilannya wajib bayar zakat, maka yang dipikirkan konsumen
muslim juga pertimbangan akhirat dan kepeduliannya terhadap masyarakat di
lingkungannya. Kepedulian ini juga akan memberikan kesempatan kepada orang lain
mendapatkan kepuasan dengan menambah pendapatannya. Dalam ekonomi Islam, unsur pendapatan masyarakat dialokasikan pada
beberapa bentuk pengeluaran, yaltu untuk konsumsi, tabungan dan sebagian dari
pendapatan itu dikurangkan untuk infak dan shadaqah. Hal ini selaras dengan
makna hadist Nabi SAW yaitu "Yang engkau miliki adalah apa-apa'yang engkau
konsumsi dan apa-apa yang engkau infakkan". [6]
Y = ( C
+ Infak ) + S
Persamaan
ini disederhanakan menjadi
Y = ( C
+ Infak ) + S
Y = FS +
S
Keterangan
: Y : pendapatan
C : konsumsi
S : investasi / tabungan
FS :final spending (konsumsi
yang dibelanjakan untuk keperluan konsumtif
ditambah dengan pembelanjaan untuk infak).
Dimana FS (Final Spending)
konsumsi yang dibelanjakan untuk keperluan konsumtif ditambah dengan
pembelanjaan untuk infak. Sehingga final spending adalah pembelanjaan
akhir seorang konsumen muslim.
C.
Fungsi
Dan Peningkatan Utilitas
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan
(utiliti function) di gambarkan oleh kurva indiferen (indifference curve).
Biasanya yang di gambarkan adalah utiliti funcion antara dua barang (atau
jasa)yang ke duanya memang di sukai oleh konsumen. Fungsi utilitas juga menggambarkan adanya tingkat kepuasan mengkonsumsi
sejumlah barang/jasa pada jumlah tertentu. Semakin banyak jumlah yang
dikonsumsi, maka akan semakin besar pula tingkat kepuasan yang didapatnya.
Dalam membangun
ekonomi function , di gunakan tiga aksioma pilihan rasional:
1.
Completeness
Aksioma
ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang
di sukainya di antara dua keadaan. Bila bila A dan B adalah dua keadaan yang
berbeda, maka individu selalu dapat menentukan secara tepat satu di antara tiga
kemungkinan ini:
·
A
lebih di sukai daripada B
·
B
lebih di sukai daripada A
·
A
dan B sama menariknya
2.
Transitivity
Aksioma
ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih di sukai daripada B,” dan “ B lebih di
sukai daripada C,” maka ia pasti akan mengatakan bahwa “A lebih di sukai
daripada C,” aksioma ini sebenarnarnya untuk memastikan adanya konsistensi
internal di dalam diri individu dalam mengambil keputusan.
3.
Continuiti
Aksioma
ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih di sukai
daripada B,” maka keadaan yang mendekati A pasti juga lebih di sukai daripada
B.
Ketiga asumsi ini dapat kita terjemahkan
ke dalam bentuk geometris yang selanjutnya lebih sering kita kenal dengan kurva
indeferen ( selanjutnya kita tulis IC) IC adalah sebuah kurva yang melambangkan
tingkat kepuasan konstan , atau sebagai tempat kedudukan masing-masing titik
yang melambangkan kombinasi dua macam komoditas ( atau berbagai macam komoditas
) yang memberikan tingkat kepuasa yang sama. Utility map untuk dua barang
inilah yang di gambarkan dengan grafik dua dimensi dengan sumbu X sebagai barng
yang di sukai dan sumbu Y sebagai barng lain yang juga di sukai.
Kurva indifference dengan utility berbeda
Semua kombinasi titik pada kurva
indifference yang sama memiliki tingkat
kepuasan yang sama. Gambar di atas
menunjukan bahwa titik A, B dan C berada pada tingkat difference yng sama
sehingga tingkat kepuasan pada titik A sama dengan tingkat kepuasan pada titik
B atau C yaitu pada U1, sedangkan titik D dan E memberikan tingkat
kepuasan yang sama yaitu pada U2.[7]
·
Peningkatan
Utilitas
Tingkat
Substitusi Marginal
Tingkat
ketersediaan untuk menukar komoditas dengan komoditas inilah yang dalam
literatur konvensional dikenal dengan tingkat substitusi marginal (marginal
rate of substitution) x untuk y, atau MRSxy.
MRSxy = jumlah unit komoditas y yang harus dikorbankan untuk
mendapatkan tambahan satu unit komoditas x, dalam tingkat kepuasan yang
sama.
D.
Optimal
Solution
Sesuai dengan asumsi rasionalitas, maka
konsumsi seorang muslim akan selalu bertindak rasional. Konsumen yang rasional
berarti konsumen yang memilih suatu kombinasi komoditas yang akan memberikan
tingkat utilitas paling besar. Kombinasi konsumsi yang dapat memberikan
kepuasan konsumen muslim secara maksimal yang merupakan optimalitas atau titik
bagi optimal bagi konsumen. Untuk mencapai tingkat optimalisasi konsumen,
seorang konsumen dibatasi oleh garis anggaran dari pendapatannya atau berbagai
komoditas yang dapat dibelinya.[8]
·
Corner
solution untuk Pilihan Halal-Haram
Konsumen meningkatkan
utilitynya dengan terus mengurangi konsumsi barang haram untuk mendapatkan
lebih banyak barang halal, sampai pada titik dimana ia tidak dapat lagi
melakukannya yaitu pada saat seluruh incomenya habis digunakan untuk membeli
barang halal, ini yang disebut corner solution.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsumsi
dalam ekonomi islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani
sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT
untuk mendapat kebahagian atau kesejahteraan di dunia maupun akhirat.
Teori utilitas
merupakan turunan dari Perilaku Konsumen, dalam ekonomi teori ini dibagi
menjadi dua, yaitu teori Kardinal dan teori Ordinal, teori Kardinal adalah
teori yang menjelaskan bahwa kegunaan dasar dapat dihitung secara nominal,
sedangkan teori Ordinal adalah teori yang mengasumsikan bahwa konsumen mampu
membuat urutan kombinasi barang yang akan dikonsumsinya berdasarkan kepuasan yang
diperolehnya tanpa harus menyebutkan secara absolut.
Utilitas dalam
konvensional menjelaskan apabila kita mengkonsumsi suatu barang maka tingkat
kepuasan seseorang akan terus bertambah sampai dengan titik kepuasan tertinggi,
jika tetap dikonsumsi maka tambahan kepuasan akan menjadi negative. Sedangkan
islam menjelaskan bahwa kepuasan seseorang akan terus bertambah, akan tetapi
harus berhenti sebelum sampai ketitik kepuasan tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri S. Andi. Etika Konsumsi
Dalam Prespektif Ekonomi Islam. Hunafa: Jurnal Studi Islamika. Vol. 11. No
3. Desember 2014.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro
Islami Edisi Keempat. Jakarta: Rajawali Press. 2010.
Sarwono. Analisis Perilaku
Konsumen Prespektif Ekonomi Islam. Jurnal Inovasi Pertanian. Vol.8. No. 1.
2009.
Lampiran
1.
Muhammad
Bayu w.
As-
syuara’ : “ Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan”
2.
Meilla
Besta H.
Etika
konsumsi : “ makan dan minumlah jangan berlebih-lebihan tidak boleh boros,
menghambur-hamburkan”
3.
Lintang
Nurul A.
Etika
konsumsi : mengutamakan maslahah atau manfaat.
4.
Bangun
Adi Putra
Menurut
QS Al Baqarah ayat 168, konsumsi
haruslah makana yang halal dan baik.
5.
Lina
Dora Bella
Terdapat
kaidah-kaidah prinsip syariah, ilmu, kuantitas, prioritas
6.
Indah
Maylasari
Prinsip
prioritas konsumsi : primer, sekunder, tersier
7.
M
khairul al azhar
Teori
konsumsi: 3 karakteristik yaitu pada tingkat keimanan, tingkatan baik,
tingkatan buruk
8.
Susi
wariyanti
Prinsip
konsumsi dalam islam haruslah sesuai dengan syariat, memenuhi kebutahan dengan
tidak berlebih-lebihan
9.
Riski
hadi k.
Prinsip
konsumsi haruslah halal dan sederhana.
10.
Ricky
yudistira
Prinsip
menurut urutan prioritas: daruriyyah, hijiyah, tahsiniyah
11.
Ratna
saputri
Prinsip
sosial: menyisihkan barang-barang untuk orang yang membutuhkan
12.
Nurbaiti
meti
Etika
menurut naqfi: tauhid, adil, kehendak bebas, amanah, halal dan sederhana.
13.
Puji
astuti
Etika
konsumsi: mengutamakan akhirat, konsisten dalam prioritas dan memperhatikan
norma dan etika
14.
M.
Arifi rahman
Teori
konsumsi konvensional
15.
Randi
Avila
Faktor
yang mempengaruhi konsumsi : pendapatan, selera, sosial ekonomi dan kekayaan.
Menyimpulkan
1.
Wijaya
Konsumsi
(perilaku), konsumtif (sifat) dan konsumen (orangnya)
2.
Nurul
khoiriyah
Konsumsi:
perilaku, konsumtif: sifat, dan konsumen: orang. Etika konsumsi adalah tidak
boleh boros dan mengutamakan maslahah. Kesejahteraan konsumen adalah ika
mengkonsumsi barang halal dan sesuai kebutuhan.
16.
Ricky
yudistira
Etika
konsumsi : barang harus halal, cara mendapatkannya juga harus halal, tidak
boleh boros, dalam berkonsumsi harus memprioritaskan mana yang penting
3.
Muhammad
bayu winata
Berkonsumsi
harus berhenti sebelum pada tingkat kepuasan tertinggi
4.
Ayu
puspitasari
Kegiatan
konsumsi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebeutuhan manusia.
5.
Bima
Dinatha as
Konsumsi
merupakan bagian hidup kita semua, dimana aktiviitasnya harus sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah dan aktivitasnya juga harus dibingkai dalam syariah.
6.
Dwita
anggraeni
Batas-batas
konsumsi tidak boleh berlebihan, harus sesuai dengan syariat islam.
[1] Andi Bahri
S., Etika Konsumsi Dalam Persspektif Ekonomi Islam, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 11, No. 2, Desember 2014, hal 353-354
[2] Wkyes, Teori
Konsumsi Islam, http://wkyes.blogspot.co.id/2017/03/teori-konsumsi-islam.html, pada
tanggal 01 September 2017 pukul 01:12.
[3]Andi Bahri
S. Op.cit, hal 350.
[4] Wkyes, Op. Cit .
[5] Andi
Bahri S. Op.cit, hal 352.
[6]
Sarwono,
Analisis Perilaku Konsumen Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Inovasi
Pertanian Vol.8, No. 1, 2009, hal.45-46
[7]
Adiwarman A. Karim,Ekonomi Mikro Islami edisi keempat, Jakarta: Rajawali
Pres, 2010,hal 64-65
[8]
Ibid,hal.72-73
[9]Ibid,hal.
76.
Komentar
Posting Komentar